Sesungguhnya, Akejira itu “Hidup”. Ia menghidupi manusia-manusia yang tinggal di dalam sekaligus di sekitar–tanpa terlebih dahulu menstigma apakah Manusia itu modern atau primitif.
KALIMAT PEMBUKA DI ATAS, sejatinya ingin menegaskan bagaimana seharusnya kita memandang Akejira. Tentu sekaligus menempatkan peran O’hongana Manyawa dan orang-orang di pesisir sebagai bagian yang tidak terpisah. Orang-orang di pesisir seringkali tidak begitu memikirkan bahwa eksistensi mereka di pesisir sesungguhnya sangat berkaitan erat secara ekologis dengan Suku Tobelo Dalam di Akejira. Tulisan ini adalah upaya untuk mengurai keterkaitan ini, sekaligus menunjukan keharusan solidaritas menentang praktik merusak korporasi di sana.
Akejira adalah kawasan hutan tepat di tengah-tengah pulau Halmahera. Kawasan ini berada sekira 30 km dari pesisir. Di sana, selain kawasan hutan dengan segala keanekaragaman hayatinya, ada sungai yang menjadi sumber dan cadangan air terbesar di beberapa kawasan di Halmahera. Sungai Akejira mempunyai peranan penting dalam menopang ekosistem dan manusia yang hidup di sekitarnya.
Setidaknya, sungai di kawasan Akejira mengalir di setiap wilayah sampai ke kampung-kampung di pesisir. Induk sungai berada di hulu Akejira. Di hilir bagian pesisir, puluhan anak sungai mengalir ke sejumlah desa di Halmahera Timur (Haltim), Halmahera Tengah (Halteng) maupun Kota Tidore Kepulauan. Tentu sungai di Akejira masih terbilang alami tanpa campur tangan kebijakan negara atas nama normalisasi atau naturalisasi seperti kebanyakan sungai di Ibu Kota.
Hutan yang lestari dan ekosistem yang masih terjaga, menjadikan sungai-sungai di kawasan ini terlihat begitu jernih. Bahkan, sungai yang berada di hulu bisa langsung diminum tanpa perlu dipanaskan.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Akejira, yang mengalir ke Halteng dan Haltim, seperti Sungai Mein di hulu, Kali Kobe, Sungai Soasangaji, Waijoi, Kali Sot dan Kali Loleba di Wasile Selatan di hilir menghidupi hampir puluhan ribu manusia dan makhluk hidup di sekitarnya. DAS yang terbentuk dari hulu tengah sampai ke hilir yang membela hutan ke kampung-kampung di pesisir saling terhubung.
Alih-alih memecah belah, aliran sungai air Akejira justru menyatukan wilayah melampaui garis batas administratif yang superfisial buatan manusia, dan menghidupi orang-orang tanpa mengenal dari mana ia berasal. Sungai Akejira menyatukan Suku Tobelo Dalam di hutan, dengan orang-orang di Halteng, Haltim dan Oba di pesisir. Saling terhubung dan menyatu membuat aktivitas merusak korporasi–yang oleh negara disebut atas nama investasi–di hulu Akejira, pelan tapi pasti akan membawa dampak serius bagi kelangsungan hidup orang-orang di hilir.
Rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) dan hilangnya tutupan hutan sebagai daerah resapan air, menjadikan daerah ini ke depan akan rentan terhadap banjir di musim penghujan. Sebelumnya, banjir pernah melanda Kecamatan Weda Tengah di tahun 2009 dan 2012. Banjir terparah hingga membuat masyarakat 4 desa di kecamatan itu mengungsi pada tahun 2016 kemarin. Banjir akibat dari luapan sungai kali kobe menenggelamkan Desa Woejerana, Desa Woekop, Kulo Jaya dan juga Dusun Lokulamo di Desa Lelilef Woebulen sampai 2 meter.
Perusahaan juga rencananya membangun bak penampungan di salah satu sungai yang mengalir dari hulu Akejira di Weda Tengah (Kali Kobe) untuk kepentingan operasi. Air di sungai itu akan disedot dalam jumlah besar menggunakan pipa berukuran sekira empat pelukan orang dewasa. Dalam jangka panjang, sungai-sungai di pesisir berpotensi terancam jika eksploitasi di hulu Akejira berlangsung masif, disertai dengan jumlah penyerapan air dalam skala besar di hilir.
Merajut Solidaritas
Dalam sebuah sesi wawancara melalui kompas, sosiolog Saiful Majid yang juga peneliti Suku Tobelo Dalam bilang: salah satu tradisi O’hongana Manyawa setiap ada kelahiran seorang anak, mereka menanam pohon sebagai bentuk rasa syukur dan penghargaan terhadap Alam. Selain sebagai ruang hidup, alam bagi mereka melekat dimensi religius. Ada sistem nilai yang membentuk interaksi mereka untuk menjaga dan melestarikan Alam.
O’hongana Manyawa atau Orang Tobelo Dalam, selama ini mungkin tak pernah berpikir bahwa praktik mereka menjaga kelestarian hutan dan sungai Akejira di hulu, berpengaruh terhadap manusia-manusia yang hidup di hilir bagian pesisir–yang juga memanfaatkan sungai untuk hidup. Sebaliknya, sebagai Manusia yang hidup di hilir bagian pesisir, seharusnya kita menghargai praktik Suku Tobelo Dalam yang selama ini hidup melestarikan Sungai Akejira di hulu. Dengan kata lain, secara ekologis kelangsungan hidup orang-orang di pesisir, tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Suku Tobelo Dalam di Akejira. Praktik merusak di hulu hanya akan mendatangkan bahaya bagi orang-orang yang hidup di hilir dan pesisir.
Penyingkiran Orang Tobelo Dalam oleh ekspansi korporasi di Akejira, seakan menegaskan teori David Harvey (2004) tentang akumulasi melalui Perampasan (Acumulation Disposesion). Kurang lebih teori itu menjelaskan, prasyarat berjalannya kapitalisme adalah melalui “Pengusiran” dan “Perampasan” orang-orang di atas lahan dan tanah mereka untuk bekerjanya akumulasi kapital. Untuk mengakumulasi kapital sebanyak mungkin mendorong kapitalisme selalu mencari ruang-ruang baru. Pencarian ruang-ruang baru inilah yang kadang melalui perampasan dan penyingkiran, bahkan tak jarang memakai kekerasan.
Realitas semacam itu hari ini terlihat jelas di Akejira. Keterusiran mereka atas ruang hidup yang oleh negara dibungkus atas nama investasi. Pada titik ini, keharusan merajut solidaritas sebagai orang pesisir yang hidup di hilir harus dibangun. Bahwa anggapan pengusiran Suku Tobelo Dalam di Akejira tidak punya kaitan dengan orang di pesisir hanya akan menyeret kita pada “Bunuh diri ekologis” .
Isu Akejira dan isu lingkungan lainnya di Malut–selain kurang begitu populer di masyarakat luas–memang selalu ketinggalan dan cepat hilang di balik isu gosip politik elit dll. Catatan singkat ini bisa jadi “Alarm” sebagai ikhtiar merawat ingatan, sekaligus merajut solidaritas dan menentang kerakusan korporasi yang merusak di Akejira khususnya, dan Maluku Utara pada umumnya.
PUSTAKA:
Harvey, David. “The ‘New’ Imperialism: Accumulation By Disposession”. Socialist Register 40, no. 1 (2004).
BERITA REFERENSI:
https://tekno.kompas.com/read/2012/07/17/02543554/tougutil.penjaga.hutan.halmahera?page=all

Sumber foto: AmanMalut
Leave a Comment