Last updated on Mei 27, 2020
Oleh Wildan Andi Mattara
Nama aku Saleh. Ayahku bernama Ustaz Yahya. Setiap tiba waktu salat ayah mengajak aku ke Masjid. Tapi, suatu hari aku kesal pulang dari Masjid.
Kalian ingin tahu mengapa aku kesal? Mari kita baca ceritaku, agar kamu tahu jawabannya.
Di kampung aku ada sebuah Masjid. Masjidnya besar dan megah. Namanya Masjid Akhirat. Catnya berwarna-warni. Masjid Akhirat tidak jauh dari rumahku. Setiap hari aku pergi salat berjamaah bersama ayah. Suatu hari teman ayah datang ke rumah. Namanya Pak Ilham. Ia minta ayah datang ke rumahnya membaca doa.
Rumah Pak Ilham berada di kampung tetangga. Di sana, ayah salat magrib.
Ayah ke rumah Pak Ilham, aku pergi sendiri ke Masjid. Azan magrib berkumandang, warga kampung bergegas ke Masjid. Aku datang sebelum azan. Lebih cepat dari kebanyakan orang tua.
Di Masjid, tidak banyak orang datang salat magrib. Apalagi anak-anak, hari itu hanya aku yang datang. Setiap tiba waktu salat selalu seperti itu. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, teman-temanku ramai di Masjid.
Azan selesai berkumandang, jamaah merapikan saf. Saf pertama tidak penuh, aku maju ke depan. Imam takbir, aku ikut takbir. Aku khusyuk salat. Tapi, sementara salat seseorang menghampiri aku. Ia pegang bahuku. “Kamu pindah ke belakang,” terdengar suara itu mengejutkan aku. Suara yang selama ini bikin merinding teman-temanku. Terdengar di telingaku, aku biasa-biasa saja.
Pemilik suara itu bernama Pak Musiman. Kedatangannya mengganggu salatku. “Mengapa aku dipindah ke saf belakang?”, kataku tidak terima ditarik dan dipindah ke belakang. Ia tidak tahu aku tidak seperti anak-anak lainnya. Takut pada gertakannya. Tidak menyangka aku membantah, Pak Musiman menatap aku.
“Anak-anak tidak boleh salat di saf depan.”
“Siapa bilang?” Pak Musiman tidak menjawab. Ia tidak punya alasan. Tapi, meski aku benar ia tidak peduli. Ia tetap saja ganti posisiku di saf pertama. Berdiri di saf belakang aku teringat ayahku. Katanya, salat di saf pertama lebih baik. Pahalanya lebih banyak daripada salat di saf belakang. Teringat pesan ayah, aku tidak tenang dalam Masjid. Gara-gara Pak Musiman aku tidak mendapat pahala salat sempurna.
Pak Musiman begitu. Selalu mementingkan dirinya sendiri. Suka merampas hak anak. Aku sudah tidak tahan berlama-lama di Masjid. Pak Imam mengucapkan salam, aku siap beranjak pulang. Tapi, kakek di depan aku berbalik badan.
“Kamu tidak usah ke Masjid,” katanya tidak senang padaku.
“Mengapa aku dilarang ke Masjid, Kek?”
“Kamu berisik. Mengganggu orang tua salat,” terdengar suara kakek meninggi.
“Pak Musiman yang ganggu aku. Bukan aku yang berisik, Kek,” kataku bela diri.
“Diam. Kamu masih anak-anak. Tidak boleh membantah,” kata kakek menunjuk ke arahku. Ia tidak suka aku banyak bicara. Tapi, namanya anak-anak, aku bicara saja seenaknya. Apalagi aku tidak bersalah.
“Anak-anak harus diajar ke Masjid. Lagi pula aku sudah besar, Kek.”
“Iya. Tapi kamu belum balig. Belum berdosa kalau tidak salat di Masjid.”
Mendengar kakek, semua orang dalam Masjid melihat ke arahku. Mereka setuju dengan kakek. Diperhatikan jamaah, aku diam menunduk. Tidak ada orang yang bela aku. Semua orang menganggap aku bersalah. Kejadian itu membekas di hatiku. Sejak saat itu aku sudah tidak mau pergi ke Masjid.
Masjid hanya untuk orang tua. Aku pulang ke rumah. Sambil berjalan aku bertanya dalam hati. Mengapa tidak ada Masjid anak di kompleks aku? Seandainya ada aku tidak akan diperlakukan seperti itu. Tiba di rumah, aku sudah melihat ayahku. Ia baru pulang dari rumah Pak Ilham.
Sambil berjalan, ayah perhatikan aku.
“Mengapa anak ayah wajahnya masam?”, tanya ayahku heran. Sebelumnya, aku tidak pernah bersikap seperti itu. Selama ini, aku selalu riang. Pulang dari Masjid selalu melantunkan selawat nabi.
Sayang, malam itu aku pulang dengan lagu sedih. Lagunya tidak berirama dan tidak terdengar. Hatiku berat untuk menyanyi. Tidak nyaman melantunkan selawat nabi.
Malam itu, hatiku galau. Di pikiranku hanya terbayang Pak Musiman dan kakek.
“Aku tidak suka orang di Masjid,” jawab aku jatuhkan badan di samping ayah.
“Ada apa? Mengapa anak ayah tidak suka orang di Masjid?”
“Aku dilarang ke Masjid. Hanya orang tua yang mau masuk surga,” lapor aku pada Ayah.
“Yang benar? Masa, anak-anak tidak boleh masuk surga.”
“Benar, Ayah!”, kataku dengan nada tinggi.
Pada ayah, aku bercerita. Bercerita tentang kejadian yang aku alami.
“Kamu berisik, mungkin?”
“Aku tidak berisik.”
“Kalau bukan kamu, siapa yang berisik? Teman kamu, ya?” Menyebut temanku, aku teringat Dilan dan Ocan. Mereka suka berisik kalau sedang salat. Tapi, mereka juga sudah tidak pernah muncul di Masjid. Sebelum aku, Dilan dan Ocan sudah kena semprot.
“Bukan teman aku yang berisik.”
“Kalau bukan kalian, siapa?”
“Pak Musiman dan Kakek. Mereka tidak senang padaku.” Mendengar aku, ayah seperti tidak percaya.
“Pak Musiman dan Kakek berisik?” Ayah mengulangi kalimatku. Ia menatap aku.
“Benar, Ayah. Pak Musiman menarik aku, Kakek yang marah padaku.”
Mendengar ceritaku, ayahku sejenak berpikir. Ia merenungkan nasib anak-anak. Apalagi kalau Pak Musiman datang salat berjamaah. Sekarang semua temanku malas ke Masjid. Malas datang salat berjamaah.
“Kalau begitu, anak Ayah tidak perlu kecewa. Tiba waktu salat isya, kita sama-sama ke Masjid.”
“Aku sudah tidak mau ke Masjid.”
“Salat di Masjid banyak pahalanya,” bisik ayahku membujuk.
“Biar banyak pahalanya aku tetap tidak mau.”
“Dengar, Nak. Saleh tidak ke Masjid bisa bahaya.”
“Apa bahayanya?”
“Kalau tiba waktu salat, Masjid bisa kosong.”
“Mengapa bisa, Ayah?”
“Sudah tidak ada generasi penerus mau datang salat.”
“Ya, dosanya ditanggung sendiri. Habis, salah sendiri.”
“Maksud anak ayah?”
“Orang tua di Masjid tidak seperti Ayah. Sayang anak.”
“Mereka tidak berbeda dengan Ayah. Orang tua di Masjid juga sayang anak.”
“Siapa bilang. Di Masjid, orang tua galak-galak.”
“Saleh, Masjid bukan tempat untuk menakuti anak.”
“Buktinya, aku tidak salah. Tapi, tidak ada yang bela aku.”
“Nanti, Ayah beri tahu Pak Musiman dan Kakek.”
“Ayah mau beri tahu apa pada mereka?”
“Masjid bukan hanya untuk orang tua. Tapi, juga untuk anak.”
“Tapi, orang tua tidak nyaman melihat anak di Masjid?”
“Orang tua bukan tidak nyaman. Tapi…,”
“Buktinya, aku datang ke Masjid mereka tidak senang.” Aku menyela, ayahku diam sejenak.
Ayahku begitu. Selalu biarkan aku bicara, kapan pun aku mau bicara. “Itu berarti kalian belum dianggap anak sendiri.”
“Jadi, Saleh harus jadi anak angkat Pak Musiman. Biar aku disayang di Masjid?”
Aku tidak senang mendengar jawaban ayahku. Kegelisahan anak-anak di Masjid dianggap kejadian biasa saja.
“Bukan begitu maksudnya.” Ayahku perbaiki posisi duduknya.
“Anak di rumah selalu mengganggu orang tua salat. Tapi, orang tua bersikap biasa sajakan. Tidak marah.”
“Mengapa orang tua tidak marah diganggu salat?”
“Sebab yang mengganggu anaknya sendiri,” kata ayahku turunkan songkok dari kepala.
“Jadi, anak dibiarkan bermain bentuk kasih sayang?”
“Iya. Makanya, kasih orang tua tidak boleh disimpan di rumah. Kasih sayang tidak boleh dimiliki sendiri. Tapi, harus dibawa ke Masjid.”
“Untuk apa kasih sayang dibawa ke Masjid?”
“Untuk dibagi kepada semua anak. Dengan begitu, tidak ada lagi orang tua marah pada kalian.”
“Jadi, kasih sayang anak di rumah, juga untuk anak di Masjid?”
“Iya. Ingat, tidak ada keikhlasan kasih sayang sebelum diuji. Diuji oleh orang di luar dari keluarga sendiri.”
Aku merapatkan badan ke ayahku.
“Ayah, senang, ya?”
“Siapa yang senang?”
“Senang kalau orang tua bagi kasih sayangnya. Teman-temanku pasti ramai datang ke Masjid.” Ayah mengelus kepalaku.
“Jadi, anak-anak tidak bolehkan dilarang ke Masjid?”
“Iya, tidak boleh.”
“Mengapa tidak boleh dilarang?“
“Masjid tempat semua orang beribadah. Tempat anak diajar salat dan menerima ilmu agama.”
“Lalu, mengapa Aku dilarang pergi ke Masjid?”
“Itu berarti, teman Ayah belum tahu hadis nabi Muhammad SAW.”
“Apa kata Rasulullah dalam hadisnya, Ayah?”
“Anak-anak seperti kamu harus diajar salat.”
“Tapi, aku disuruh ke Masjid, nanti setelah balig.”
“Tidak salah. Tapi, hadis Rasulullah tidak berhenti di situ.”
“Apa kelanjutannya, Ayah?”
“Anak yang sudah balig, tapi tidak mau salat harus dipukul.”
“Itu, benarkan, Ayah? Anak-anak dilarang salat di Masjid?”
“Hadis Rasulullah tidak boleh diartikan, seperti itu.”
“Mengapa tidak bisa?”
“Menunggu anak balig dan dipukul, apa akan terjadi?”
“Suara tangis akan ramai terdengar di kampung kita.”
“Itu, tidak boleh terjadi.”
“Mengapa tidak boleh?”
“Agama Islam tidak mengajarkan kekerasan. Apalagi pada anak.”
“Kalau dipukul menggunakan benda tidak berbahaya? Misalnya, menggunakan bantal?”
“Tetap tidak boleh. Perbuatan itu tetap namanya kekerasan.”
“Jadi, apa maksud hadis itu, Ayah?”
“Peringatan bagi setiap orang tua, agar berhati-hati.”
“Berhati-hati memukul anak?”
“Bukan.”
“Lalu, bagaimana?”
“Sejak masih kecil, anak harus diajar salat di Masjid. Agar, setelah balig tidak perlu dipukul.”
“Oh, begitu. Jadi, Kakek dan Pak Musiman waktu kecil tidak pernah diajak ke Masjid?”
“Kalau itu, Ayah tidak tahu.”
“Lalu, bagaimana kalau teman-teman aku berisik?”
“Makanya, orang tua harus dampingi anaknya ke Masjid. Biar tidak berisik.”
“Banyak orang tua hanya tahu menyuruh anak ke Masjid. Tapi, mereka sendiri malas salat.”
“Berharap anak saleh tidak cukup menyuruh anak salat.”
“Tapi, harus bagaimana, Ayah?”
“Orang tua harus memberi contoh. Setiap orang tua, teladan bagi anak-anaknya.”
“Caranya?”
“Tiba waktu salat, orang tua harus ke Masjid.”
“Tapi, ayah biarkan aku pergi sendiri ke Masjid.” Mendengar aku, ayahku sadar dengan kelalaiannya. Aku beranjak di samping ayah.
“Baik. Mulai hari ini, Ayah berjanji. Ayah akan selalu menemani Saleh salat berjamaah di Masjid.”
Aku lega. Setelah kejadian itu Masjid Akhirat kembali ramai oleh anak-anak. Aku kembali rajin salat berjamaah dan mengaji. Dilan dan Ocan, juga sudah kembali muncul di Masjid. Mereka datang bersama orang tuanya salat berjamaah. Orang tua mereka sudah diberi tahu oleh ayahku. Berharap anak saleh, orang tua harus memberi contoh. Pak Musiman dan Kakek, juga sudah berbagi kasih sayang. Kasih sayangnya di rumah sudah dibagi kepada anak-anak di Masjid.
Pak Musiman dan kakek sayang kami. Kami juga kembali hormat pada mereka. Sebab mereka orang tua kami.
Teman-teman, itulah pengalaman aku. Pengalaman yang membuat aku rajin salat di Masjid.
***
#CEPERNPILIHAN
Dosen Sastra Indonesia Unkhair
[…] Aku dan Ayah Rajin ke Masjid […]