Press "Enter" to skip to content

Berhenti Menyalahkan Korban Kekerasan Seksual

Belakangan ini banyak sekali terjadi kasus kekerasan seksual. Mulai dari pelecehan, eksploitasi, perbudakan, penyiksaan hingga pemerkosaan. Kekerasan seksual terjadi tidak memandang usia, dari anak-anak hingga dewasa, bahkan orang tua pun ada yang mengalami tindakan tersebut. Yang paling sering menjadi korban adalah perempuan, meski tak menutup kemungkinan ada juga laki-laki namun sangat jarang.

Dalam banyak kasus, dampak psikologis sangat berpengaruh terhadap korban. Ada trauma mendalam yang timbul pada diri korban. Mereka merasa tidak berdaya, takut, malu, bahkan ada yang merasa tidak sanggup dan mencoba untuk bunuh diri. Tidak mudah bagi korban melalui luka pengalaman tersebut dan menjadi mimpi buruk bagi mereka.

Parahnya, masih banyak masyarakat kita yang kurang berempati terhadap korban kekerasan seksual. Kebiasaan menyalahkan korban dan membenarkan pelaku kekerasan seksual ternyata masih ada. Memojokkan korban bahwa kekerasan bisa terjadi karena yang bersangkutan memancing hasrat seksual (provokatif). Ini membuat tanggung jawab pelaku seolah hilang dan malah dibebankan pada pundak korban. Padahal, korban kekerasan seksual adalah serangan fisik dan psikis, dan korban sangat membutuhkan dukungan emosional.

Kebiasaan menyalahkan korban (victim blaming) sangat dipengaruhi oleh system patriarki. Hal ini masih mengakar dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini. Posisi laki-laki dianggap lebih dominan, lebih berpengaruh, dan memposisikan perempuan selalu dibawah laki-laki hingga membuat stigmatisasi bahwa perempuan selalu salah.

Dalam ranah seksual, perempuan selalu dianggap sebagai objek pelengkap atau pemuas kebutuhan seksualiatas laki-laki. Hal inilah yang membuat sebagian orang cenderung menyalahkan korban (perempuan) dan tak jarang membela si pelaku.

Makanya kalau jadi perempuan pakaiannya jangan terlalu sexy, bisa menggoda laki-laki. Kan, memang laki-laki hasrat seksualnya tinggi. Jadi, salah kalian sendiri.

Pernyataan menyalahkan korban seperti di atas sangat sering kita dengarkan. Seolah-olah salah si korban yang mengundang nafsu laki-laki. Sungguh mengesalkan. Alasan inilah yang berujung pada pembenaran pelaku dan membuat para korban mengalami penderitaan ganda : diperkosa dan disalahkan.

Itu mengapa kita butuh mengubah cara pandang terhadap masalah kekerasan seksual. Sampai kapan kita mau menyalahkan korban terus-menerus?

Komitmen laki-laki untuk menjadikan perempuan bukan sebagai objek seks adalah kunci utama dari penghapusan kekerasan seksual pada perempuan, dan menghargai jenis pakaian apapun yang mereka kenakan.

Mulailah berpikir dan mari mengubah cara melihat kita dari berbagai sudut pandang, daripada langsung menyalahkan korban.  Perasaan sedih, depresi bahkan trauma selalu menghantui mereka dan sangat sulit untuk dihilangkan. Keadaan emosional mereka sangatlah tidak stabil. Mereka butuh waktu untuk kembali bersosialisasi.

Jadi baiknya kita mulai berhenti menyalahkan korban, beri dukungan emosional untuk para korban. Berempati. Buatlah korban merasa yakin bahwa dia tidak bersalah dan tidak sendirian dalam menghadapi peristiwa tersebut. Mari!


Oleh: Ervana M. Agus, Perawat/Ners | ilustrasi gambar oleh Pexels


4 Comments

  1. Ika Rizkikah Ika Rizkikah November 27, 2019

    Teruslah merawat sayangku❤️

  2. Muhammad idra faudu Muhammad idra faudu Desember 3, 2019

    Tulisan yang menarik. Saran, agar pembahasan kompleksitas marginalisasi penyintas ini sedikit di perluas misalkan aturan dari UU yang memojokkan penyintas ,dan kenapa RUU-PKS sangat urgen untuk terapkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *