Kita percaya diri ketika diyakinkan oleh pemerintah kesehatan dari kategori “empat sehat lima sempurna” itu bagian dari filosofis. Yang menerangkan tugas dan tanggung jawabnya mereka untuk melindungi sesama manusia dari keteraturan mengkonsumsi makanan yang menyehatkan tubuh. Hal tersebut seolah-olah kita terhindar dari gangguan penyakit.
Meskipun begitu, kategori ini menjadi motto hidup sebagian besar orang-orang menjaga pola makan yang baik dan di lain sisi mengandung pula prosedur pengecekan kesehatan tubuh yang berlebihan “makan” dapat menyebabkan penyakit yang berlainan dengan apa yang kita semua pikirkan. Polah tersebut ternyata, penyakitnya adalah penting untuk mendapatkan Cuan.
Kita sadari peraturan itu sungguh formalitas dan berfilosofi bagi sekelompok orang. Bertugas merekayasa aturan demi pandemi besar-besaran. Tak lain masalah nilai nomina yang dilekatkan. Sementara haluan kategori yang tersebut menjadi dogmatis lewat aturan mengikat lewat lembaganya sendiri. Pelayanan kesehatan itu, orientasinya tertuju pada publik dan belenggu. Dengan melayani biayanya tanpa konsesi dan konsepsi.
Akhir-akhir ini pun pendidikan kesehatan kita tambah lemah pemikiran atau pengetahuan. Sebab ilmunya dipergunakan untuk memperdaya masyarakat demi Untung-untungan. Bukannya, kita menyalahkan seberapa pentingkah kesehatan yang memeran sebagai kewaspadaan. Namun, justru diperankan sebagai peragaan. Kalaupun peran dan fungsinya seperti itu, bagaimana dengan orang-orang di justifikasi menjadi cemaran gejala-gejala penyakit yang disembuhkan hanya melalui “perniagaan”, yakni surat (bukti tes) kesehatan lalu dikenakan Biaya. Bukti kesehatan adalah keseriusan ditemukannya gejala penyakit dengan tawaran khusus seperti obat-obatan. Kini sangat berlainan, tes kesehatan dengan bukti pembayaran dan penyakitnya adalah pola pikirnya yang menyalahgunakan (kejujuran).
Seorang pasien harus tahu tawarannya seperti apa. Layaknya kategori empat sehat lima sempurna; mengonsumsi buah-buahan dan sayuran, ikan, telur, susu dan nasi. Dianggap bergizi dan mengandung protein untuk kebutuhan tubuh. Tawarannya berupa anjuran dan cukup mendekati kadar rasional. Tetapi yang satu ini paling di luar pendidikan. Anjurannya dikenakan oleh seorang dokter berupa pernyataan-pernyataan non premis dan tidak berterima. Soalnya mengelabui logika hewan yang hanya mengikuti naluri. Jelas, premis bersifat asosiasi yang kurang tepat.
Kita mengira, pendidikan kesehatan yang berdiri dalam suatu lembaga. Darinya, dapat melahirkan generasi yang jujur terhadap keilmuannya. Padahal lambat laun, mengaburkan makna setelah dikembangkannya yang oleh kelompok sektarian. Sebutan nomina dari kelompok rentan. Nomina tidak tanpa fungsi kerja kesadaran. Adalah bagaimana kita menghubungkannya dengan keberlakuan etis pada vitalitas hidup kita sendiri. Sedangkan kelompok rentan yang berupaya melaraskan bidang keilmuan dengan situasi masyarakat sampai aspek kebudayaannya.
Kehilangan mutu pendidikan kesehatan yang terikat “relasi” politeknik. Adalah suatu cara atau hukum propaganda untuk menghasil nilai duit lewat bentuk apapun. Yang diterapkan dalam perguruan tinggi. Hal tersebut memarginalkan nilai kontribusi bagi citra kampus. Teknik eksploitasi, sebut saja begitu. Kampus terbilang handal karena mengandung intelektual. Tetapi, sebetulnya periode sebuah perguruan tentu berbeda literatur. Atau selaku titipan bidang ilmu apapun selama masih menghasilkan produksi cuan. Buktinya, sarana pendidikan terdapat pula billing tagihan kesehatan para pelajar. Sama halnya, mutu pendidikan yang kita pelajari tak lain belajar menciptakan aturan dan menjalankan misi politisasi.
Dimana-mana, orang dinyatakan sehat dibuktikan keaktifannya. Bukan dibuktikan dengan premis-premis yang paradoksal. Akibatnya, literatur kita berjalan tak terarah atas ulah memasifkan literatur itu sendiri. Kesehatan bukan diartikan adanya penyakit. Namun, kesehatan itu keberlangsungan atau proses pemulihan sistem organik yang bekerja dalam tubuh dan bukan kubu.
Bagaimana anda bisa percaya pada asumsi (hukum paradoks), yang tidak terlibat pada aktivitas organik itu. Pendidikan kita sebetulnya takut membuktikan, betapa kejujuran itu berharga dan menciptakan hukum perikemanusiaan. Artinya, kejujuran berdampingan dengan kepuasan hakiki tanpa ada sangkut pautnya dengan berupaya menciptakan pola-pola sosial hingga sah tak berterima jika belum mutual.
Paling tidak, aturan yang mengikat itu, bagaimana prosesi kesehatan dengan keberlakuan fungsi saat menggunakannya dalam kurun waktu yang lain. Kita, saat ini bingung dengan cara kerja administrasi. Mereka menjadikan peraturan kedalam partisi. Satu bagian, untuk rekayasa kesehatan dan satunya lagi terkait penerimaan anggota baru tanpa kompromi. Jika itu sarana pendidikan, paling tidak dipergunakan bukti tersebut tidak sekedar status pelajar. Tetapi, pembuktian menjadi syarat umum dalam kebutuhan mahasiswa kedepannya.
Pandemi di tahun kemarin, covid-19. Kesehatan manusia semakin anjlok. Akibat pertahanan tubuh yang mudah kena virus. Dinyatakan cuaca lingkungan hidup yang begitu terpuruk. Olehnya, penjualan obat dan cairan vaksin merebut kendali situasi konflik sosial di tengah pandemik. Maka berbagai alasan konkrit pun muncul antara lain social distancing dan pakai masker. Pandemi telah berakhir menjadi pendidikan pandemik. Atau pandemic of knowledge dipadukan dalam sistem dan kebijakan institusi perguruan tinggi.
Kita mengakui pandemi yang menyebabkan semua orang melangkah harus wajib menggenggam sebuah Rapid test. Penjualan vaksinasinya telah menerangkan sebuah usaha administrasi kesehatan. Jadi, pandemi adalah administrasi yang bekerja di bidang sosial. Setelah itu, pandemi secara umum perlahan dikerucutkan menjadi pemilahan dan sisipan di setiap lembaga. Termasuk pandemic for akademi.
Pandemik, tak berlangsung lama mengubah institusi menjadi usaha kecil-kecilan. Usaha jual formula tampil sehat, sebagai sarana aktifitas setiap orang. Kita takkan bekerja, berjalan jauh, dan tidak terdaftar sebagai anggota kepolisian, mahasiswa jika; surat keterangan dokter belum memenuhi syarat verifikasi berkas. Semua lembaga resmi menerapkan cara hidup sehat menggunakan, yang disebut oleh pakar kebudayaan Kuntowijoyo sebagai penerapan “Artifisial”.
Penulis : Isbullah | Redaktur LPM Mantra
Leave a Comment