Press "Enter" to skip to content

Cerita Pengupas Bawang Merah Menghidupi Keluarga

Siang itu matanya sigap menatap bawang merah. Dengan posisi duduk, tangannya lihai melantunkan pisau. Satu persatu kulit bawang mulai dipisahkan dari keranjang satu ke yang lain.

Amelia (50) tahun, seorang perempuan yang bekerja sebagai pengupas bawang merah di pasar Gamalama kota Ternate. Ia bercerita sebagai pengupas kulit bawang, mereka tidak dituntut untuk menghabiskan berapa banyak yang akan dikupas. Tetapi  dalam sehari ia mampu habiskan 5 KG bawang merah. Selain tidak di patok, ia juga bebas untuk beristirahat atau pulang kapanpun yang ia mau.

“Dalam sehari biasanya 5 KG yang saya kupas, kalau saya sudah lelah langsung saya pulang jadi tidak menentu,” pungkasnya.

Perempuan asal Fogi Kabupaten Kepulauan Sula ini dalam sehari ia tidak bekerja paruh waktu. Sementara sebagai pekerja pengupas bawang yang tidak tetap ia hanya mengandalkan kekuatan yang ia mampu. Belum lagi anaknya yang baru usai Sekolah Menengah Atas (SMA) sangat ingin berkuliah, mau tidak mau ia harus lebih giat dalam bekerja. 

“Tergantung tong (saya) p (punya) kekuatan saja, tidak memaksa, baru saya p (punya) anak yang baru selesai kemarin ini dia ingin sekali kuliah, saya bilang sabar-sabar dulu. Insya Allah tahun depan baru masuk kuliah,” ungkapnya dengan nada rendah.

Hasil keringat Amelia tidak menentu dalam sehari. Dalam satu kilo ia diberikan hanya Rp. 5.000, sedangkan kemampuan dalam sehari hanya sampai pada 5 kilo.

“Satu kilo Rp.5.000, kalau 5 kilo berarti Rp.25. 000,” ujarnya.

Dia sering merasa gelisah jika tidak bekerja dan terus berdiam diri di kosan. Mengingat dia pun belum lama datang dari Sanana dengan tujuan mencari pekerjaan di kota Ternate, sehingga mau tidak mau ia harus bekerja sebagai pengupas bawang.

 “Saya juga belum dapat tempat ba jual dan baru dari Sanana juga, belum dapat kerja yang sebenarnya, dari pada cuman nganggur duduk di kos-kosan lagi, lebih baik duduk di sini to (sudah),” tuturnya.

Selain itu, Ibu Amelia juga membagi kisahnya saat harus  melewati fase terberat dalam hidupnya. Yaitu melihat anaknya mengalami penyakit sindrom dan  meninggal dunia pada tahun 2020,  bukan hanya itu saja, sebab kepergian anaknya ibu Amelia pernah mengalami stres berat karena harus kehilangan penyemangat hidupnya.

“Saya p (punya) anak kuliah di Ambon (UNPATTI), dia angkatan-19. dia sakit Sindrom, sakit ini kan obatnya setengah mati (susah) to (tu), kecuali dekat dengan dokter andalan (bagus). Dia meninggal semester tiga waktu heboh-heboh corona itu hari,” tandasnya dengan mata berkaca-kaca.


Penulis: Muhamat Nur Umakamea (Magang)

Editor: Rifal Amir

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *