Matanya menatap kosong tak terarah dengan wajah sumringah. Dengan posisi duduk ia tampak menikmati makan siang di tengah hiruk-pikuk pasar Barito kelurahan Gamalama kota Ternate.
Terik matahari seakan membakar kulit, saya mencari tempat untuk berteduh. Tapi tidak dengan para pedagang siomay, pentolan, tukang ojek, penjual parfum keliling, dan mereka yang berjualan di emperan jalan masih beraktifitas. Setelah melihat sekeliling pasar dengan raut wajah yang gundah, saya bergegas menelusuri pasar di tengah hiruk-pikuk keramaian.
Tampak dari kejauhan ibu-ibu penjual pisang tengah asyik bercerita sembari makan siang. Namun, mata saya tertuju kepada seorang ibu yang sedang menikmati hidangan nya dengan tatapan yang tertuju pada satu tempat. Perempuan paruh baya itu sedang memikirkan sesuatu dan menunggu seseorang.
Dengan sigap saya menghampirinya, ia tampak sibuk dengan aktivitas memikirkan sesuatu sehingga tidak menghiraukan kehadiran saya. Tapi setelah menyadari saya berada di sampingnya, perempuan paruh baya itu berdiri dan mempersilahkan saya untuk duduk.
Di sekeliling kami terlihat berbagai macam jenis pisang tertatah rapi siap untuk dijual, mulai dari pisang raja, pisang ambon, pisang mas dan pisang goroho.
Nursia (52) tahun seorang perempuan yag bekerja sebagai penjual pisang di pasar Barito. Ia memutuskan menjadi penjual pisang karena anak perempuan semata wayangnya kuliah.
“Sejak anak perempuan saya masuk kuliah, saya langsung memilih menjadi penjual pisang,” Kata Nursia, saat ditemui Mantra Minggu,(12/9) pelataran pasar Gamalama.
Nursia bercerita biasanya setelah selesai shalat subuh ia harus bergegas ke pasar untuk menata pisang yang mau dijual. Ia duduk berjualan sejak pagi sampai menjelang petang. Kemudian beranjak ke rumah setelah ba’da Magrib, hal ini sudah dilakukannya sejak anaknya masuk kuliah 2022.
“Anak saya sudah semester 3, dia sekolah dari hasil jual pisang,” tuturnya.
Ia mengaku, awal mulai berjualan pisang lapaknya di depan jalan pasar Barito dalam sehari penghasilanya bisa mencapai Rp. 1.000.000.00. Namun setelah pihak pengelola pasar memindahkan lapak pisangnya di dalam pasar, pendapatan yang didapatkan mulai berkurang. Jika dulu ia bisa meraup untung jutaan rupiah, kini tinggal ratusan ribu.
“Penghasilan yang didapat saat berjualan di depan jalan dari pagi sampai sore mencapai Rp. 1.000.000.00. Tapi sekarang saat berjualan di dalam pasar keuntungannya so (sudah) berkurang hanya Rp. 300.000,” katanya.
Meski begitu Ia merasa bersyukur karena dengan menjual pisang bisa menyekolahkan anak hingga ke jenjang perguruan tinggi dan menyambung hidup. Tapi Ia juga merasa sedih karena penghasilan tidak lagi memuaskan. Bahkan dengan penghasilan yang semakin rendah, ia tidak putus asa untuk menyekolahkan anaknya yang beranjak semester tiga.
Anak perempuan semata wayangnya itu bahkan berkuliah di Solo pada Jurusan Pariwisata. Uang sarana kuliah sebesar Rp. 6.000.000.00, belum lagi biaya semester sebesar Rp. 9.000.000.00 ditambah biaya kosan sebesar Rp. 800.000.
“Dari hasil penjualan pisang saya bisa menyekolahkan anak saya dan bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi sekarang penghasilan sudah menurun,” ungkap Nursia dengan nada pelan.
Perempuan asal pulau Makeang Ngofagita itu menuturkan pisang yang dijualnya itu didapat dari keponakan yang berkebun di Bacan Barat, satu pen pisang besar dengan harga Rp. 45.000, sedangkan yang sedang biasa diambil Rp. 35.000. Pisang tersebut kemudian dimuat dengan kapal yang bertujuan Babang-Ternate dengan biaya pisangnya per pohon Rp. 3000, apabila pisang sebanyak 100 pohon total pembayaran kapal Rp. 300.000.
Ia mengeluhkan pengeluaran yang dikeluarkan lebih besar dari pendapatan ketika lapak pisang dipindahkan di dalam. Padahal sebelum lapak pisang dipindahkan.
Hal senada juga diungkapkan Aisa (60) yang sudah menjual pisang sejak lulus SMA. Ia mengaku penghasilan yang didapatnya tidak seperti saat berjualan di depan jalan.
“Sebelum pinda ke belakang, tong (kami) bajual dimuka jalan dengan pendapatan Rp. 300.000. Tapi so (sudah) pindah di belakang pasar hanya dapat seratus lebih,”ungkapnya.
Kata dia, setelah lapak pisang dipindahkan jualan pisangnya sudah tidak laku. Karena itu ia kadang berjualan hingga pukul 10.00 WIT. Meski usia yang sudah menua tak menyurutkan semangatnya untuk menjual pisang.
“Karena dengan pekerjaan inilah kami bisa bertahan hidup,” pungkasnya.
Penulis: Samsuria Buamona (Magang)
Editor: Tim Mantra
Be First to Comment