Dalam Dilema Clickbait yang Sungguh Mengecewakan

Opini: Arjun Benteng


PESATNYA perkembangan teknologi berupa internet telah menambah jumlah klasifikasi media pada daftar literatur kita hari ini. Selain media cetak, kini kita memiliki media syber dengan pertumbuhan yang dahsyat.

Melihat fungsi media massa sebagai kontrol sosial, pelontar informasi, hiburan, serta pendidikan, meledaknya jumlah media massa secara kuantitatif terbilang membahagiakan karena kita mendapatkan banyak tawaran informasi dan hiburan dari banyak media, serta kontrol dan pendidikan. Tapi secara kualitatif, melirik produk atau konten-konten media, beberapa dari banyaknya media massa malah mengecewakan.

Mengutip dari JawaPost.com, Dewan Pers memperkirakan, se-Nusantara jumlah media online saat ini mencapai 43 ribu lebih. Namun dari sekian banyak media online hanya sebagian yang tumbuh dan ingin membangun profesionalisme jurnalistik. Sementara, sebagian lagi hanya untuk mencari keuntungan semata (JawaPost.com, 9 Feb 2018).

Praktik Tercela Jurnalis

Pesatnya pertumbuhan media massa dengan intensitas persaingan antara media, memaksa kita untuk lebih selektif saat memilih berita agar tidak “tertipu”, sebab praktik-praktik tercela seperti clickbait hari ini bertebaran di banyak media.

Clickbait adalah salah satu praktik tercela yang menjangkiti dan akut dalam banyak media kita hari ini. Clickbait atau umpan klik secara sederhana diartikan sebagai penjudulan yang bombastis atau sensasional guna menarik pembaca untuk mengklik dan masuk dalam situs berita demi meningkatkan page view untuk mendapatkan pengiklan atau mendapatkan keuntungan dari iklan.

Berita-berita dari hasil clickbait sering menipu sebab tidak relevannya antar judul berita dengan isi berita. Tak jarang kita bisa mengidentifikasi opini pewarta dalam judul berita yang bernuansa clickbait.

Dari grup whastapp yang dikhususkan untuk membagi berita-berita, saya pernah mendapat beberapa kiriman berita yang bernuansa clicbait. Misalnya:

Merinding! Mahasiswa Cantik ini Hilang Misterius Diduga Dilarikan Dukun di Pesisir Selatan.

Waduh! Pemerintah Didesak Segera Tangani Janda Kehilangan Suami Akibat Covid-19.

Berdasarkan kode etik jurnalistik, seorang jurnalis diminta mewartakan peristiwa seobjektif mungkin, dengan kata lain subjektivitas jurnalis dilarang masuk dalam berita yang digarap, seperti pada berita lempang atau straight news.

Dalam dua judul berita dia atas kita bisa melihat opini jurnalis. Frasa “Merinding!” Merupakan opini pewarta sebab apakah isi beritanya miris atau tidak adalah hak pembaca dalam menilai peristiwa yang diwartakan. Tugas pewarta hanyalah mewartakan peristiwa atau fakta.

Sementra frasa “Waduh!” merupakan interjeksi atau kata seru. Interjeksi adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan perasaan dalam diri seseorang. Jadi, frasa “Waduh!” dalam judul berita di atas adalah emosi pewarta.

Lagi-lagi ini adalah hak pembaca yang seharusnya tidak direbut pewarta. Apakah isi beritanya mengejutkan atau tidak itu ditentukan pembaca. Sekali lagi, tugas jurnalis hanyalah mewartakan!
Mengingat banyaknya praktik clickbait, sebagai pembaca kita harus menjadi pembaca yang aktif dan tidak pasif dalam menghadapi gempuran berita dengan melontarkan kritik pada media-media yang seenaknya mengeksploitasi rasa ingin tahu pembaca, tanpa memenuhi kebutuhan pembaca.

Siapa tahu, setelah kita melontarkan kritik pada media-media pelaku clicbait, media-media tersebut tersadar dan tergerak untuk berbenah dan tidak lagi merebut hak pembaca, dan lantaran hal tersebut kita mendapat pahala karena usaha penyadaran kita melalu kritik.

More Reading

Post navigation

Leave a Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *