Penulis : Arjun Benteng (Pimpinan Redaksi LPM Mantra FIB)
Berekspresi untuk menyampaikan pikiran, perasaan, keinginan dan harapan adalah satu kebutuhan penting yang terpancang dalam banyaknya daftar kebutuhan mendasar manusia.
Tidak hanya pangan, sandang dan papan, berekspresi juga tak kalah penting dengan apa yang biasa kita—mahasiswa—santap, tahu isi dan indomie misalnya; tak kalah penting dengan pakaian yang sudah kita kenakan berminggu-minggu tapi tak kunjung kita sikat dalam busa sabun; tak kalah penting dengan hati yang sedang kita tempati. Eh, maksud saya kos-kosan yang sedang kita tempati dengan tunggakan yang belum kita lunasi.
Berbicara, sebagai satu bentuk ekspresi manusia untuk mengutarakan buah akal atau gundah hati, ini harus dimengerti sebagai satu upaya aktualisasi dari berbagai hasrat dalam diri manusia, seperti hasrat menjadi hebat (William James), hasrat untuk menjadi penting (John Dewey), dan hasrat untuk menjadi besar (Sigmund Freud).
Maka keinginan untuk bicara dan didengar bila dihalang-halangi bisa menjadi biang rusaknya keharmonisan hubungan interpersonal dan hubungan sosial kita dengan orang lain. Bahkan bisa merusak hubungan cinta dengan s*lingkuhan kita.
Banyak Bicara
Kita semua setidaknya pernah menjalani suatu percakapan seperti ini di kantin kampus, memotong pembicaraan rekan kita yang belum habis bicara karna kita ingin lekas menyampaikan pendapat-pendapat kita. Atau melihat rekan kita yang emosi karna tidak diberi kesempatan agar bisa bicara sedikit lebih banyak. Ini bisa menjadi temuan kecil kita untuk menyatakan bahwa kita semua butuh bicara. Tak terkecuali orang-orang yang pendiam. Mereka juga butuh bicara dan didengar.
Tapi berbicara harus dalam takaran yang pas, jangan over. Apalagi sampai memotong pembicaraan orang lain dan menghalangi-halangi orang lain untuk bicara, seperti yang kerap dilakukan para kakanda atau senioritas untuk menegaskan keakuan mereka sebagai orang yang lahir lebih dulu dan lebih hebat, dan juga sebagai upaya agar orang lain, para adinda, terkesan dengan pengetahuan dan presentasi-presentasi mereka yang tidak ada sudahnya.
Yang lebih tahu wajar saja jika yang lebih banyak bicara. Tapi ingat yang memiliki kebutuhan untuk bicara dan didengar tidak hanya kakanda, tapi kita semua. Banyak bicara tentu sah-sah saja, dan lawan bicara kita juga mampu mendengarkan presentasi kita yang panjang lebar, tapi itu bila sejauh yang kita bicarakan adalah apa yang diminati lawan bicara kita. Bukankah kita akan menjalani suatu diskusi yang membosankan bila minat kita lebih pada bahasa, tapi rekan diskusi kita di kantin kampus tak sudah-sudahnya dan berlama-lama dalam teori-teori berat materialisme dan tidak mengaitkan dengan subjek yang sedang kita minati?
Kita seringkali berpikir, bisa menjadi orang yang lebih banyak bicara dapat membuat orang lain menyanjung kita. Padahal tidak selalu begitu. Orang lain bisa tidak memberikan rasa persahabatan mereka yang hangat karna kita terlalu banyak bicara. “Kalau kita cuma berusaha memberi kesan kepada orang lain, dan berusaha menjadikan orang lain tertarik kepada kita,” tulis Dale Carnegie dalam buku mega best sellernya, “kita tidak akan pernah mempunyai banyak kawan yang sejati dan tulus. Kawan-kawan sejati tidak dihasilkan dengan cara itu.” Jangan melulu membicarakan tentang apa yang ada pada kita, kebesaran misalnya.
Dalam ajang diskusi mahasiswa di kantin kampus, banyak bicara sudah menjadi satu aksi yang lumrah bagi mahasiswa. Sudah selumrah bila kita jatuh hati pada mahasiswi-mahasiswi Sastra.
Terkadang, karna saking ingin lebih banyak bicara, meja diskusi tidak sekedar tempat untuk membedah sebuah diskursus untuk mengambil kebijaksanaan atau menggali kebenaran, tapi ring tinju untuk menang-menangan.
Sudah waktunya untuk mengajarkan kepada para adinda untuk mendengarkan, yaitu—barangkali ini cara yang sulit—dengan menahan sedikit mulut kita dan mulai mendengarkan apa yang bisa dan ingin para adinda sampaikan. Dalam buku fenomenalnya How to win friends and Influence People, Dale Carnegie menulis, “Untuk menjadi menarik, tertariklah pada orang lain. Ajukan pertanyaan-pertanyaan yang orang lain akan senang menjawabnya. Beri semangat mereka agar bicara tentang diri mereka dan hasil sukses mereka.”
Carnegie yang merupakan seorang motivator kawakan juga mengatakan bahwa, satu-satunya cara yang bisa mengerakkan kita melakukan apa pun adalah dengan memberi kita apa yang kita inginkan.
Bukankah kita semua ingin mengerakkan para adinda kita? Lalu apa yang para adinda inginkan? Seperti apa yang kita semua inginkan, yaitu bicara dan didengarkan. Beruntung bagi orang-orang yang bersedia mendengarkan siapa pun di kantin kampus dengan saksama karna itu adalah gerbang menuju hati seseorang.
Be First to Comment