Dalam ajang musyawarah organisasi kemahasiswaan atau ormawa seperti BEM dan HMJ, atau dalam kegiatan musyawarah organisasi kepemudaan untuk menggeser kepemimpinan sebelumnya karena masa jabatan yang telah sudah, dalam pesta politik mahasiswa tersebut yang hampir berlangsung tiap tahun, pada prosesnya banyak adegan, drama dan intrik yang berlangsung di sepanjang musyawarah.
Intrik-intrik politik dimainkan para “tim sukses” sebagai upaya memenangkan kandidatnya atau mendepak lawan. Gagasan akan saling beradu, strategi dan taktik akan dimainkan dengan lincah dan hati-hati apabila ada rivalitas dalam perebutan pucuk pimpinan organisasi.
Tapi tidak hanya perang saraf berupa gagasan dan strategi, tak jarang perang fisik seperti adu jotos juga kerap terjadi dalam prosesi musyawarah. Tidak hanya saling meyakinkan dengan integritas, tapi saling fitnah dan caci maki juga menjadi bagian dari adegan. Tidak hanya saling ‘palu’, drama saling sikut juga berlangsung. Tidak saja ada ancaman dari otak, tapi ancaman juga datang dari otot. Pokoknya tidak hanya riuh-rendah kecerdasan, tapi riuh-rendah kekerasan juga bergema dalam pesta politik mahasiswa tersebut.
Saling fitnah dan saling sikut, secara etis ini terdengar kurang ajar atau dengan bahasa yang lebih halus, ini terdengar kelewatan. Sebab mahasiswa dikenal sebagai satu entitas dalam kehidupan sosial yang mampu menyelesaikan berbagai hal dengan kepala dingin, karena pendidikan dan pengetahuan yang mumpuni yang dimilikinya.
Namun menariknya, riuh-rendah kekerasan dalam setiap musyawarah kehadirannya dianggap sah-sah saja atau diterima begitu saja sebagai sesuatu yang lumrah oleh berbagai kalangan mahasiswa, dan hal itu tak perlu dipersoalkan baik buruknya.
Di kantin kampus, narasi-narasi tentang musyawarah sering dijajakan. Tidak terkecuali dengan riuh-rendah kekerasan di dalamnya. Seseorang yang wajahnya bengkak akibat dipukul atau seseorang yang terkena lemparan kursi akibat terlibat dalam konflik saat proses musyawarah, hal ini diceritakan secara gamblang, begitu saja tanpa meninjaunya lagi secara etis.
Tahun kemarin, di kantin kampus Muhammadiyah Maluku Utara, dengan beberapa teman saya, kami membincangkan prosesi musyawarah dalam organisasi kami yang barusan habis kami gelar. Siang itu, teman-teman saya menceritakan berbagai adegan yang mereka saksikan dan mereka mainkan, sesuatu yang bagi mereka berkesan, mulai dari bagaimana mereka mempengaruhi dan mengelabui rekan-rekan mereka, taktik dan pergerakan lawan politik mereka, dan banyak lagi.
Saya sendiri hanya menceritakan tentang teman saya, bagaimana ia sampai mencaci maki saya hanya karna saya dengannya menempati rel politik yang berbeda. Saya menceritakan itu dengan wajah tidak senang, sebab orang yang mencaci maki saya itu adalah teman baik saya, hampir tiap hari saya dengannya makan sepiring dan tidur sebantal. Tapi apa respon teman-teman saya setelah saya menceritakan itu.
“Begitulah Dinamika, Kawan”
“Begitulah dinamika,” yah, itu. Begitulah saya mendapat tanggapan dari mereka. Singkat, padat dan b*ngsat. Saya juga mempersoalkan intrik-intrik kotor dan permainan-permainan fisik seperti adu jotos dalam musyawarah. Tapi tanggapan yang saya terima kasih singkat, padat, dan b*ngsat. Saya diminta untuk tidak mempersoalkannya secara etis atau secara apapun karena “Begitulah dinamika”, seperti kata mereka.
Mulai dari situ saya memikirkan hal ini, bahwa “Begitulah dinamika” adalah kalimat paling ajaib yang pernah melompat keluar dari mulut mahasiswa. Sebab intrik-intrik kotor dalam politik mahasiswa terdengar sah untuk dilakukan hanya karena itu dibilang dinamika. Ajaib.
Baru-baru ini terjadi dualisme dalam organisasi kepemudaan kami, karena ada klaim kecurangan dari salah satu kandidat dari dua kandidat yang mencalonkan diri sebagai nakhoda organisasi. Saling klaim kemenangan, masalah internal ini dihamburkan di sosial media berupa status di beranda Facebook. Komentar demi komentar berdatangan dari lawan dan kawan pemilik status. Mereka yang pro dan kontra, suara mereka silang-menyilang di kolom komentar.
Lucunya, tidak hanya argumentasi dan alibi, tapi saling singgung juga berdesakan di kolom komentar. Lantas hal ini pantas dipermasalahkan secara etis? Tidak. Kata teman saya, “Begitulah dinamika, kawan”, sewaktu saya coba mempersoalkan segi etisnya.
Penulis : Arjun Benteng |Mantra
Be First to Comment