Press "Enter" to skip to content

Ini sudah Zaman Kuntilanak

Beberapa Rentetan Peristilahan Zaman
Belakangan, di Indonesia, para ahli dan kalangan Netizen menyepakati lirik lagu Eko Show yang berjudul “Kids Zaman Naw” sebagai istilah yang mewakili dimensi perkembangan zaman sekarang (Zaman Now). Tapi, setelah mengalami kebosanan artikulasi karena kerapkali atau sudah basi dipakai, kita kembali disuguhkan dengan sebuah sebutan baru bertajuk tentang Generasi kekinian, hal itu dinamai “Milenial”.
Arti Milenial sendiri dalam KBBI V, mengindikasikan makna para generasi yang hidup dan lahir di antara tahun 1980-an dan 2000-an. Kehidupan generasi milenial tidak terlepas dari sokongan carut-marutnya perkembangan teknologi terutama dunia cyber (internet). Bukan saja itu, lanskap peristilahan zaman ini terus bersifat dinamit, hingga, muncul lagi istilah zaman “Industri 4.0”, sebuah istilah dunia digital yang kapasitasnya sangat spektakuler untuk menyatakan betapa maraknya mobilitas kehidupan kontemporer ini dengan ragam istilah dan dunia informasi.
Yang getol dalam hal ini, adalah media sosial yang membanjiri kehidupan manusia saat ini. Sudah pasti, ini adalah ” Spektrum Zaman” yang sangat over dikuak oleh “Budaya” hidup manusia sendiri. Dalam kubang ilmu kebahasaan (Linguage) misalnya, spektrum zaman yang berganti-ganti ini disebut ‘Kronolek’, sebuah variasi bahasa yang teridentifikasi cepat punah dan hanya sesuai dengan kondisi zaman tertentu. Biasanya bahasa (prokem dan gaul) berawal dari sekelompok masyarakat tertentu, kemudian disebarluaskan menjadi tajuk sebuah istilah yang mewakili kedudukan “Zaman” kita sekarang.
Kepastian Munculnya Zaman Kuntilanak
Dengan sifat bahasa yang arbitrer (manasuka) itu, kita dapat memberi penyangkal bahwa di kemudian hari, dari alat ucap manusia (Artikulasi) akan muncul varian-varian dialek baru yang mencuat di zaman mendatang. Betapa tidak, sebab, manusia dengan mutlak akan mengartikulasikan hal tersebut lewat berbagai formulasi pengetahuannya sendiri.
“Zaman Kuntilanak” merupakan istilah baru, yang barangkali, “Bebas Makna”, bahkan semua pembaca dapat menafsirnya dengan pendekatan apapun. Iya, sekali lagi “Kuntilanak”. Pertama-tama, coretan ini muncul ketik saya menghadiri hajatan mata kuliah semester 3 yang sebelumnya saya tanggalkan di tahun kemarin. Dengan alasan mengontraknya demi mendapatkan nilai yang mautakmau harus membaik (tak seburuk dulu), saya menduduki kursi ruang belajar dengan penuh harap, ceriah, tegang, bercampur malu karena harus duduk belajar dengan adik-adik saya. Tapi syukurlah, mereka tak memberi pernyataan “Ah kaka, kamu semester tua kan? Wajahnya seram banget!”. Pasti saya jawab “Tak peduli, emang saya kuntilanak?”
Berlanjut, guru, eh bukan guru, tapi Dosen yang ditunggu-tunggu mulai masuk. Mengenalkan silabusnya (SAP) dengan judul mata kuliah (MK), “Sejarah Pemikiran Modern”. Paparan demi paparan berlanjut, ia memulainya dari zaman Klasik, Renaisans (masa peralihan dari abad pertengahan ke abad modern di Eropa) sekitar abad ke-14 sampai 17, katanya, dan persis yang dijelaskan KBBI V. Dan menurut beberapa ahli, di masa itu munculnya kesusastraan klasik dan berkembangnya kesenian di Eropa, hingga munculnya pengetahuan baru (dan mungkin istilah baru) bernama era modern. Begitulah, barangkali penamaan istilah zaman tersebut berangkat dari fragmentasi pengetahuan dan ilmu-ilmu zaman.
Saya semakin bosan dengan paparan sang jagoan penganut eksistensialis Prancis tersebut, katanya di sela sampaian materinya. Sampai akhirnya, ia memberi pernyataan bahwa kita, generasi yang dilekatkan dengan segala informasi dan komunikasi, serta berbagai istilah zaman yang marak dibicarakan, sebenarnya terjebak dengan sebuah produk yang membuat diri kita candu dan dikata “over konsumtif” oleh banyak kalangan ilmuwan lewat penemuan-penemuan mereka. Lanjut bicara, sembari memperlihatkan Hand-Phon-nya ke arah kami, “Apa kalian tahu, benda ini, adalah kuntilanak” tegasnya dengan serius, yang kemudian pecah tawa kami menguak, bahwa Hand-Phon/Android adalah model “kuntilanak” Zaman sekarang. Bahkan, katanya, lebih sadis dan Magic dari kuntilanak, karena ketika anda menutup seluruh kaca mobil anda, tak ada kuntilanak yang bisa masuk, selain signal/jaringan Androidmu.
Kuasa Semantik Dalam Bentuk Kuntilanak
Selain mendapatkan gambaran zaman kuntilanak dari penganut Eksistensialisme (Dosen) tersebut, dan mendorong saya untuk menguatkan—yang juga pasti mengenalkan zaman kuntilanak itu, jelaslah, ada semacam kepastian kuasa dari kombinasi Lingual dan Semantik yang berperan memainkan realitas yang kita maksudkan tadi. Pertama, yang mewakili ucapan [Kata] dalam kajian Linguistik adalah [Bentuk], jadi, Kuntilanak adalah bentuk sebuah kata yang dipadankan dengan konteks kekinian. Secara lingual, atau dengan istilah Michael Riffaterre, sebagai tahap heuristik (arti sebenarnya), maka pengertian ‘Kuntilanak’ dalam tahap heuristik tidak akan diterima atau saling tidak berterima ‘Pengertian’. Hal demikian lazim terjadi, karena bentuk ‘kuntilanak’ bukanlah pengertian yang mewakili sebuah istilah dimensi (ruang dan waktu dalam kehidupan).
Kedua, kata Riffaterre, kita harus melonjak pada tahap yang disebutnya Hermeneutik sebagai tahap kedua untuk menyelaraskan bentuk ‘Kuntilanak’ dengan kondisi spektrum zaman yang dimaksudkan (Riffaterre, Semiotika 1990). Maka dengan kuasa semantis tersebut, patutlah kita, sebagai manusia zaman kuntilanak yang menyadari ketakutan-ketakutan informasi, teknologi, serta segala aspek yang dapat mempengaruhi kita, apalagi mengubah eksistensi kita sebagai mahluk Tuhan yang dikaruniai akal sebagai penyaring pengetahuan. (RHH)

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *