Opini: Risdian Kayang
Sebagian dari kita sepakat bahwa pendidikan bertujuan membuat manusia menjadi baik dan manusiawi di segala aspeknya. Karena itu, pendidikan punya daya dobrak yang signifikan dalam penataan kehidupan bernegara. Kampus – dalam kategori formal – sebagai terminal terakhir lembaga pendidikan punya posisi sentral yang tak dapat ditawar lagi terutama dalam diskursus demokrasi, civil society, dan masyarakat madani.
Dan Sebagai mahasiswa yang berhimpun di di dalamnya, kelas “elit” ini yang menengahi antara pemerintah dan masyarakat umum. Memainkan peran ganda sebagai pengawasan sekaligus pengawal. Tentu saja mewakili masyarakat yang rentan didzalimi haknya, karena itu, mahasiswa berkonsekuensi sebagai fungsi pengawasan terhadap kecenderungan alami kekuasaan yang oportunis.
Apalagi kondisi nasional kita yang menghadapi prahara akibat hantaman telak pandemi global. Resesi ekonomi, Krisis legitimasi terhadap pemerintahan, menguatnya peran TNI-POLRI dalam ruang-ruang masyarakat sipil, represifitas dan kriminalisasi aparat terhadap aktivis lingkungan, hingga ekspansi hutan rakyat yang semakin menggila, di lain sisi Omnibuslaw yang menderegulasi serta membentangkan karpet merah bagi asing yang sewaktu-waktu dapat disahkan.
Kita juga akan menghadapi momen tahunan pilkada 9 Desember mendatang. Antisipasi konflik horizontal antar simpatisan. Itulah sebabnya kehadiran kampus di tengah-tengah masyarakat menjadi keharusan, bukan untuk menjustifikasi muslihat kekuasaan melainkan intrupsi terhadap kekuasaan yang berjalan tanpa kontrol sekaligus menyodorkan solusi lewat tradisi riset akademik yang rerigous.
Namun peran ideal kampus tak sampai terejawantah dalam ruang praksis. Kampus juga sering tersandra oleh kekuasaan. Malpraktek akademik dan banalitas intelektual. Kampus justru menjelma sebagai vaksi kelompok penghamba kekuasaan, yaitu mereka yang menjadi perpanjangan tangan aparatus modal.
Aktivitas riset yang idealnya menguak tabir kemiskinan dan merekomendasikan solusi atas berbagai ketimpangan, kini berubah menjadi titipan kekuasaan atau sekadar mendongkrak karir akademik semata. Distribusi bantuan atau beasiswa yang juga penuh pertimbangan patron clien, koneksi, dan “orang dalam” membuat bantuan itu salah sasaran. Menjadikan wajah kampus tidak egaliter, namun sektarian dan jauh dari kolektifisme.
Uraian ini cukup beralasan mengingat kampus sendiri bukan lembaga profit. Sejak awal kampus didirikan memang bertujuan menabur pengetahuan. Dengan pengetahuan, kampus mengokohkan sendi-sendi peradaban yang ukurannya adalah kebijaksanaan. Tentu saja, muara kebijaksanaan diarahkan untuk kemaslahatan bersama bukan hanya segelintir orang. Tentu saya tidak mengatakan kampus tak memberikan pengetahuan dan tidak bijaksana.
Menyaksikan gelanggang akademik dan intelektual yang hidup di dalamnya bak bursa modal. Transfer kepentingan ini, teringat AE. Priyono yang menyamakan peran kampus dan kuil-kuil perguruan silat di zaman dahulu. Kedua tempat itu mengajarkan ilmu bela diri menghadapi kehidupan. Setelah lulus dari kuil-kuil perguruan silat, pembelajar beladiri harus keluar untuk mengembara di belantara kehidupan, sebuah ritus perjalanan menuju — atau terseret ke — pusat-pusat kekuasaan di dunia feodal.
Selama pengembaraan itu, sebagian dari mereka tumbuh sedemikian rupa menjadi pendekar, mengungguli pertarungan di dunia persilatan, dan memenangkan persaingan. Kehidupan dipandang sebagai medan perkelahian yang memang harus dimenangkan. Di zaman ketika ilmu persilatan menjadi norma kehidupan, maka menjadi ksatria adalah menjadi petarung-petarung untuk meraih kejayaan melalui perkelahian dan kesaktian.
Kampus-kampus juga mengajarkan ilmu untuk berkelahi memenangkan kehidupan. Seperti kuil-kuil perguruan silat, kampus juga memandang dunia sebagai kancah perkelahian, pergulatan, dan persaingan. Para ksatria kampus melanglang buana, merintis perjalanan menuju pusat-pusat kekuasaan, pusat-pusat kekayaan, dan pusat-pusat kejayaan. Tapi tidak seperti para ksatria kuil, para profesional yang dicetak dari kampus itu tidak lagi mengarahkan diri untuk mengabdi pada kekuasaan feodal. Mereka merayakan kekuasaan modal. Mereka bertarung dengan para ksatria lain dari berbagai kampus lain di dalam arena pasar bebas untuk menjadi aparatur modal (AE. Priyono).
Kampus mesti kembali pada jalan “profetiknya” sebagai pengabdian kepada masyarakat. Kita mesti bangkit, tumbuhkan tradisi akademik, yang demokratis, menabur nilai-nilai kemanusiaan sebab di dalam universitaslah harapan itu dilabuhkan dan hanya di kampuslah tempat kita bertanya, seperti ungkapan Djajat Sudrajat: “Ketika masyarakat kehilangan arah, para pengelolah negara kehilangan kendali atas kuasanya, dan pers mengalami jalan buntu mengurai sebuah soal, kampus mesti menjadi pusat kita bertanya. Sebab para pakar di dalamnya punya kejernihan, kapasitas dan kredibilitas yang terbangun dari tradisi akademik yang tekun, objektif, transparan dan selalu berorientasi pada kebenaran”. Itulah pentingnya kampus harus mempunyai kebebasan mimbar dan terus menjaga Independensi.
Be First to Comment