DI ERA SERBA DIGITAL INI, orang-orang bebas mengekspresikan perasaannya, baik lewat Facebook, Twitter dan aplikasi digital lainya. Namun, penulis hanya memberikan berbagai realitas yang terjadi pada kalangan remaja kini, di mana mengungkapkan perasaan tanpa memperhatikan etika bermedsos. Banyak remaja ketika menghadapi suatu persoalan tanpa berpikir panjang menuangkan kata-kata kurang etis alias menggunakan kata-kata cabul.
Sesuai pengertiannya, ‘Cabul’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kotor, keji dan tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan). Misalnya ketika seorang remaja pacarnya direbut oleh orang ketiga (orang lain), ia tidak segan-segan mencaci maki orang tersebut lewat facebook. Terlebih, kasus ini lebih didominasi kaum hawa namun bukan berati tidak pada lelaki dengan menggunakan kata maaf ‘binatang’ dan masih banyak lagi yang notabennya kata cabul.
Sehingga hemat penulis, peran sastra sangat penting yang memiliki bobotan nilai untuk dipahami remaja tidak hanya dikhususkan bagi dunia formal. Karya sastra dan dunia remaja terbilang saling berkesinambungan, sebab, karya sastra tidak hanya mengandung nilai keindahan pada kata-kata, lebih dari itu, nilai moral selalu melekat pada tubuh karya sastra.
Karya sastra mampu dikenal banyak orang ketimbang merasakan perihnya dada lalu menuangkan kata-kata cabul lewat Facebook bahkan tidak sedikit remaja harus berhadapan pada jalur hukum akibat postingan senonoh.
Baca lagi:
Kita pun bisa menafsir secara pribadi bagi sastrawan maupun pecinta karya sastra, pria maupun wanita yang sadar dan jarang menggunakan kata cabul saat menghadapi persoalan percintaan lalu dipublis ke facebook. Bahkan persoalan yang dihadapi itu bisa dirangkai menjadi satu kalimat indah dan memotivasi. Bahkan, dapat dijadikan karya produktif seperti buku.
Kita tahu bersama salah satu remaja, penulis muda dan berbakat, Faisal Oddang, mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin (Unhas). Sastrawan muda yang mulai diperhitungkan goresan penanya. Ide dan imajinasinya sukses dia tuangkan dalam bentuk tulisan dan terbit di berbagai media cetak maupun elektronik. Undangan menghadiri event kepenulisan baik tingkat nasional maupun internasional pernah dia rasakan.
Namun tahukah anda bahwa penulis muda ini pernah merasakan perih dalam percintaan? Dia pernah mengisahkan, sebelum menjadi penulis terkenal, pada saat masih menduduki Sekolah Menengah Pertama (SMA) pertengahan 2012, ia merasakan patah hati kepada kekasihnya, saat itu pula ia menulis puisi lalu menempelnya di mading sekolah.
Tulisannya alay-ajaib-dan untungnya, pacarnya memberi kode balikan. Sayangnya: pantang pisang berbuah dua kali, kata Buya Hamka, namun atas kekecewaan itu dia terus menulis. Akhirnya dengan kesendirian dan memiliki bakat itu, dia mengaku memiliki banyak penggemar.
Demikianlah, remaja dituntut untuk mengonsumsi sebuah karya sastra menjadi hal terbaik bagi mereka guna memenuhi pengetahuan dan tentunya juga sebagai hiburan. Dunia remaja selalu melekat tentang cinta, perceraian, patah hati dan kehidupan kota yang dikisahkan dengan mendayu-dayu dan getir.
Peran penting bagi orang terdekatnya seperti keluarga untuk selalu mengawasi anaknya. Semoga tulisan sederhana ini mampu mengubah para remaja untuk selalu menciptakan karya produktif daripada memosting hal-hal yang justru membawa petaka.
Sofyan A. Togubu, Alumni Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unkhair
Be First to Comment