Press "Enter" to skip to content

Kuliah Online itu Sebenarnya Menguntungkan Mahasiswa, Kok Kalian Ngotot Amat

#SINDIR | oleh Rian Hidayat Husni | Credit Foto: qureta

KALAU DIPIKIR-PIKIR, kuliah online (kulon) sebenarnya menguntungkan mahasiswa yang malas ke kampus. Terutama jenis mahasiswa yang melabelkan diri sebagai kaum rebahan, yang mending tidur aja daripada mengisi absen di kelas. Meskipun video converens kulon kerap eror, toh absensi mata kuliah masih tetap aman diakses.

Kalau ada mahasiswa yang ngotot kuliah online (kulon) harus ditiadakan, paling tidak kita dapat memastikan bahwa mereka juga sering masuk kelas dan rajin mengerjakan tugas. Jadi, mending menyiapkan diri untuk tidak bermalas-malas dulu.

Meskipun dapat kuota gratis dari pemerintah, mahasiswa-mahasiswa jenis ini juga malas mengakses kelas virtual. Ya, kan?

Membandingkan kuliah tatap muka secara langsung dan kulon memang jauh berbeda. Selain medianya, cara untuk menempatkan diri pada dua metode kuliah itu juga tentu tak searah.

Kalau pada skema tatap muka, jalan kaki dan naik angkutan menjadi prioritas kita, berbeda dengan metode kulon yang harus mengandalkan kecepatan jaringan. Satu lagi, harus memastikan diri kita berada di bawah naungan jaringan dan kuota kita cukup untuk mengakses kelas virtual.

Soal kuota, Menteri Nadiem memang sudah menganulirnya lewak kebijakan-kebijakan lembaga yang dipimpinnya. Mahasiswa dan dosen setiap bulan akan dikirimi kuota secara berkala untuk empat bulan mendatang, asek!

Memang si, rencananya akan jalan pada September sampai Desember tahun ini. Sesuai yang dibilang Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Evy Mulyani.

“Siswa akan mendapat 35 GB per bulan, guru akan mendapat 42 GB per bulan, mahasiswa dan dosen 50 GB per bulan” ucap Evy.

Mahasiswa dan dosen 50 GB per bulan, menguntungkan bukan? Tentu saja bakal habis bukan cuma untuk masuk kelas virtual dosen. Ya meskipun harus melengkapi berkas-berkasnya. Kalau sudah diberi kuota gratis, lantas tak mau menerimanya dengan alasan ribet menyiapkan syarat-syaratnya, ini lebih parah lagi. Gaptek?

Alasan-alasan ini mungkin bisa disandingkan dengan cerita anak-anak di pedalaman yang lokasi sekolahnya sangat jauh. Mereka harus menyeberangi sungai, basah-basah naik rakit, lalu menuju ruang kelas. Bukannya menyuarakan dinamikan pendidikan seperti itu justru lebih konkrit?

Tapi mungkin tak sepenting menghimpun kesadaran kita untuk masuk mata kuliah yang menjadi kewajiban seorang mahasiswa.

Pada dasarnya habitat pembelajaran memang dilakukan secara bersua. Toh para filsuf dan ilmuwan lampau tidak pernah menggunakan skema onlen-onlen itu. Namun untuk tetap menjaga ekosistem ilmu pengetahuan, kampus telah menawarkan kita media belajar yang mautakmau harus dijalani. Yah, kalau bukan karena pandemi, apalagi.

Satu lagi, kalau dilihat, cara mengajar dosen yang hanya membagi materi kuliah lewat WAG atau tugas di kelas virtual, dan merujuk kita untuk membacanya secermat mungkin, hal ini dapat meningkatkan daya literasi digital kita. Hal yang belum tentu kita tekuni saat berada di ruangan kelas kampus. Misalnya, slide materi yang malas kita baca.

Maka, dengan perasaan lengang dan rasa optimis secukupnya, kita akan berkata: apapun hambatannya, mari lalui saja. Baik mahasiswa, semua orang di bumi ini juga tak henti berharap pandemi ini harus cepat berakhir.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *