Press "Enter" to skip to content

Memburu Dewesy, Sang Penyair Pejuang

Last updated on November 23, 2019

Ada banyak nama penyair yang kita kenal, ada lebih banyak lagi nama penyair yang tak kita kenal. Dewesy, Dominggus William Sijaranamual, adalah seorang penyair pejuang dari Maluku yang bisa jadi belum kita kenal. Karyanya yang tersampaikan ke generasi sekarang memang tak banyak, tapi itu bukan alasan bagi kita untuk tak membaca ulang perjuangannya.


Pertengahan September 2017, dari Terminal Mardika Ambon kami menumpangi mobil angkot menuju Negeri Mamala di Jazirah Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Siang itu, saya bersama rombongan dari Paparisa Ambon Bergerak, sebuah rumah komunitas di kota Ambon.

Dua jam perjalanan, kami tiba di ujung kampung Mamala, lalu melanjutkan berjalan kaki menuju sebuah bangunan sekolah milik Muhammadiyah. Rombongan kami berbelok ke sepetak halaman di samping sekolah.

Tepat di belakang jendela ruang belajar sekolah tersebut, sebuah marmer putih setinggi 2 meter berdiri. Pada marmer tersebut terukir sebuah sajak berjudul “Pelarian Terakhir”.

Baru saja terang membenam hari/ Membayang lagi mega merah asap kebakaran/ Membawa makluk lari berlepas diriPilih ! Mati atau hidupDi sini masih ada orang kuat lariBerlomba dengan mautSedang aku berharap dengan lautAku turun ke lautTapi bukan anak lautAku mau tamatkan ini lembaran/ Dalam kelam hariBiar dengan pedomanPada hanya sebuah bintangYang lagi bercahayaOrang berlombaAku berlombaAku membuat satu pelarian terakhir/.

Ambon, 1950

Sajak di atas ditulis 68 tahun lalu oleh Dewesy, beberapa hari sebelum ia meninggal dunia. Dewesy dimakamkan pada 22 November 1950. Di bawah marmer itu, sebuah nisan tertulis: beristirahat dalam pelarian, pahlawan penyair Dominggus Wiliam Sjaranamual (Dewesy).

Berfoto di makam Dewesy, Mamala, pertengahan September 2017. Foto: Istimewa

Dalam catatan Rudi Fofid – wartawan senior Maluku, setelah kemerdekaan, Dewesy dan kelompoknya adalah pendukung Negara Indonesia Timur (NIT). Ada pula kelompok yang mendukung NKRI. Sementara di Ambon sendiri muncul RMS. Kelompok Dewesy dan kelompok pendukung NKRI sama-sama menentang proklamasi RMS dengan tulisan-tulisan mereka. Olehnya itu mereka menjadi musuh dan incaran bekas Het Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) yang mendukung berdirinya RMS.

“Sebab itu Dewesy dikejar sebagai buronan. Ia terus meloloskan diri, tapi kawannya yang memberi tumpangan dan perlindungan, justru menjadi korban. Dewesy memilih mengungsi ke Kubur Cina di Gunung Nona. Dalam kondisi lelah, lapar kedinginan dan sakit, penyair yang saat itu berusia 24 tahun menulis puisi berjudul Pelarian Terakhir. Dengan mengendap-endap, puisi itu dititipkan kepada seorang wartawan surat kabar Suluh Ambon, melalui jendela kantor redaksi” catat Rudi.

Puisi yang kemudian diterbitkan itu makin membuat murka MID hingga menyerang kantor redaksi Suluh Ambon. Situasi genting dan tidak aman. Mendengar kabar itu, Dewesy, sendirian dan dalam keadaan sakit keras, melarikan diri ke negeri sahabatnya, Mohammad Malawat di Mamala. Diatas pangkuan sahabatnya, ia mengembuskan nafas terakhir. Kesehatannya kian memburuk ketika melakukan perjalan pelarian ke Mamala dengan jalan kaki, naik turun bukit, dan hanya bertahan hidup dengan air kelapa.

Dewesy lahir pada 9 Mei 1926 di desa Itawaka, Saparua. Namanya mungkin asing dalam deretan nama sastrawan nasional, namun penyair asal Maluku ini aktif berjuang menulis propaganda menentang penjajahan Indonesia. Dewesy merupakan nama pena (samaran) guna menghindari kejaran militer penjajah.

Pamflet, esei-esei propaganda dan puisi-puisinya selalu menyuarakan kemerdekaan Indonesia. Berkali-kali ia bersama kawan-kawannya ditangkap dan diinterogasi oleh Kempeitai – satuan polisi militer pada masa penjajahan Jepang.

Dewesy mulai menulis puisi ketika melanjutkan pendidikan guru Volks Onderwyser, Saparua. Di sana pula ia mulai bersahabat dengan Muhammad Malawat dan Hasan Malawat, dua sepupu asal Mamala yang dikirim orang tuanya untuk ikut bersekolah guru. Mereka memulai dunia kepenyairan dan puisi-puisi mereka dimuat di Suluh Ambon.

J. Lisapaly dalam catatannya menulis, setelah Jepang menyerah, Deswesy dan kawan-kawannya pernah melakukan pemogokan di V.O. namun tidak terlacak alasan dari pemogokan itu. Setelah lulus, Desewy sempat menetap di sana selama setahun bersama ibu angkatnya dan barulah pada tahun 1947 ia mulai bekerja di Kantor Cabang Kementrian Penerangan NIT di Ambon pada bagian planning.

Tahun 1949 Dewesy mengikuti kursus kader penerangan yang diadakan di Makassar dan lulus dengan nilai terbaik. Lisapaly mengakui sejak saat itu bakatnya dalam karang-mengarang makin dipergiat. Hal itu terbukti karena sebagian besar sajak-sajaknya terbit di media nasional seperti majalah Mimbar Indonesia dan mingguan Siasat berkisar pada tahun 1949 hingga 1950.


***

Setelah dari makam Dewesy, kami menuju rumah Muhammad Malawat, sahabat Dewesy kala masih hidup. Rumah tradisional bercat putih dengan tiang-tiang berwarna hijau itu terletak di tengah kampung Mamala, sekitar 20 meter dari masjid Mamala. Kamar depan terpisah di luar dan sejajar dengan beranda. Konon di kamar itulah Dewesy dirawat saat sakit. Bahkan tempat tidur yang dipakai Dewesy masih berada pada posisi yang sama dalam kamar tersebut. Dalam kamar itu pula Dewesy menghembuskan nafas terakhir di pangkuan sahabatnya, 19 November 1950 pukul 4.30 sore.

Kuburan Dewesy awalnya berada tidak jauh dari rumah Muhammad Malawat, namun karena semakin ramai pembangunan pemukiman warga, makamnnya kemudian dipindahkan di halaman persekolahan Muhammadiyah, Mamala.

Di teras rumah Muhammad Malawat, teman-teman dari rombongan pementas teater mendeklamasi sajak Pelarian Terakhir. Beberapa warga sekitar berkumpul ikut menyaksikan.

Setelah itu kami disuguhi teh dan kudapan oleh warga sambil berbincang mengenai sosok Dewesy. Kisahnya hidup dalam masyarakat dan diceritakan secara turun-temurun oleh warga Mamala.

Dalam perbincangan itu saya menanyakan soal puisi-puisi Dewesy selain Pelarian Terakhir.  “Ada beberapa arsip di pusat dokumentasi sastra H.B Jassin di Jakarta” kata Opa, panggilan akrab Rudi Fofid. Namun belum ada satupun salinan arsip-arsip tersebut di tangan teman-teman Ambon.

Memburu Dewesy ke Jakarta

Suatu hari ketika melawat ke Jakarta, saya mampir ke Taman Ismail Marzuki  mencari arsip-arsip milik Dewesy di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. Berkat bantuan seorang pegawai sepuh di sana, saya akhrinya bertemu dengan sebuah folder biru yang tertulis “Sijaranamual, D.W., Sajak-sajak (ketikan, kliping)”.

Dalam folder tersebut terdapat daftar isi atas arsip yang ada di dalamnya. Tertulis ada 11 puisi, antara lain Ketinggalan (1948), Musim Tjengkih (Siasat, 1949), Merdeka! (1949), Surat dari Laut (Mimbar Indonesia, 1949), Lepas (Siasat, 1949), Djandji Terakhir (1949), Kita Hanya Satu (Mimbar Indonesia, 1949), Pasang Surut (Mimbar Indonesia, 1949), Sumpah (Mimbar Indonesia, 1949), Berpisah (1950), dan Sadjak dari Riwayat Seorang Kawan (1950).

Dewesy dalam catatan J. Lisapaly

Keistimewaan lain yang saya dapatkan ialah mendapati arsip tulisan J. Lisapaly berjudul Sijaranamual: Pengembara Jang Tewas terbitan Mimbar Indonesia (tanpa tanggal) yang terarsip dalam folder itu. Dalam tulisan itu dimuat juga foto portrait Dewesy muda.

Lisapaly menulis bahwa jika membicarakan kebudayaan baru Indonesia maka pikiran kita akan tertumpu pada sosok Chairil Anwar sebagai pelopor angkatan 45. Berbarengan dengan itu ternyata muncullah orang-orang yang bukan dari Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, melainkan dari Maluku dengan Sijaranamual dan Chris Latuputty.

Mereka baru saja mulai, kata J. Lisapaly, tapi suara yang diperdengarkan adalah janji kesatuan dan kemerdekaan yang justru pada masanya kita masih terlibat dalam rantai penjajahan, mereka telah berhasil memberi bentuk yang nyata pada api revolusi kita.

Lisapaly mengaku berkenalan baik dengan Dewesy ketika masuk dalam pendidikan guru. “Baru pada waktu itu kegemarannya dalam karang-mengarang memberikan kesempatan luas untuk lebih mempertajam dan mencari bentuknya sendiri” tulisnya. Menurutnya, Dewesy adalah seorang yang keras hati, dan syarat itulah yang dipergunakannya dalam rintisan pertama untuk menghancur luluhkkan bentuk kolonialisme melalui sajak-sajaknya.

Selain sajak-sajak, Dewesy juga menulis cerita-cerita pendek. “Sesudah Aku Hamil” adalah cerpen perdana Dewesy yang dimuat dalam majalah mingguan Siasat. Sementara cerpennya yang kedua berjudul “Perempuan” yang membahas perkembangan bahasa Indonesia dan system menir-menirkan di kantor-kantor.

Namun arsip dari kedua cerita pendek Dewesy di atas belum ditemukan hingga hari ini. Pada akhir catatan tersebut, setelah meninggalnya Dewesy, Lisapaly mengatakan angkatan muda di Maluku merasa suatu kekurangan yang besar dan berpesan semoga jejak Dewesy ini akan dituruti oleh yang lain untuk memberi bentuk yang kuat dalam perkembangan kesusateraan Indonesia.

22 November 1950 – 22 November 2019, 68 tahun sang penyair pejuang Dominggus Wiliam Syaranamual dimakamkan.

Biarpun kamu pada menghilang
Tapi kita yang tinggal terus berjuang
Mendekatkan jarak ini yang sudah kita sama dekatkan
Biar bagaimana pula juga kita tidak akan berdiam
Kepada anak – anak dari kamu yang sudah pergi 
Dan dari kita yang masih tinggal
Kita akan tutur ini sejarah
Kita akan ajar dia pegang tangkai dayung
Biking tutup ini jarak

Dewesy – Kita Hanya Satu (Mimbar Indonesia, 1949)

Saudara
Kau yang hidup dekat api, dekat rumah orang buangan
Mari dengan aku anak asal Alifuru
Makan sumpah cara Alifuru
Lalu kita makan sirih – tikam tombak
Kita dua ambil parang dan salawaku
Kita dua cakalele
Lanjutkan sumpah hari akhir

Dewesy – Sepenggal sajak Sumpah (Mimbar Indonesia, 1949)

Oleh: Adlun Fiqri
pertama kali dimuat di PoCer.co, 22 November 2017.

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *