Oleh: Rian Hidayat Husni
Bagi mahasiswa libertarian, kampus tidak hanya sekadar mempertemukan mereka dengan fantasi ruang belajar. Kampus adalah rumah untuk tidur, makan bersama dan “memberontak”. Maka saat kampus dihantam pandemi, dan kelengangan mulai meyelimuti, mereka memilih untuk tetap merindukannya.
Sebuah artikel yang dimuat di USA Today pada Maret lalu, cukup bikin perihatin. Artikel ini menghimpun ganasnya dampak pandemi covid-19 yang menghantam kampus-kampus kecil di Amerika Serikat. Sejumlah kampus swasta di negeri Paman Sam itu nyaris kosong karena jumlah lulusan SLTA yang mendaftarkan diri sangat minim.
Bahkan mereka yang sudah mendaftarkan diri, kembali memutus kuliahnya. Selama pandemi berlangsung, kampus-kampus itu kewalahan meladeni mahasiswanya dengan fasilitas belajar jarak jauh yang masih serba terbatas.
Risiko ini juga dirasakan oleh tiga kampus milik University of Michigan yang harus mengantisipasi kerugian sebesar 400 juta Dollar hingga 1 miliar Dollar tahun ini. Kampus seperti MacMurray College, lembaga yang sudah berusia 174 tahun di Illinois, kini mengumumkan akan ditutup.
Alasannya adalah pandemi global ini mempersulit volume ekonomi untuk menunjang kelancaran kinerja perguruan tinggi. Belum lagi, kampus-kampus tersebut harus menguras anggaran demi membiayai pembelajaran mahasiswanya di masa pandemi.
Sejak memasuki babak pandemi yang semula diumumkan pada bulan Maret lalu, kampus-kampus di Indonesia seperti menemui kelengangan luar biasa. Sederet kebijakan tentang penanganan covid-19 mulai diluncurkan. Merambah ke semua sektor pendidikan.
Sebagai mahasiswa, satu dampak yang cukup kita rasakan adalah hilangnya “kegerumutan” di ruang kelas. Diperparah dengan keramaian lingkungan kampus yang seolah lenyap seketika.
Janji untuk berkumpul di kantin, seraya melaraskan wacana dengan tajuk kekinian, merencanakan kegiatan, atau sekadar membahas tugas mata kuliah di kelas, tiba-tiba harus berhenti. Sensasi yang barangkali cukup menyesalkan bagi semua mahasiswa.
Tak dapat dipungkiri. Kita bisa memastikan jumlah pesanan kopi di kantin-kantin pun menurun. Kursi-kursi tongkrongan tempat kita membaur, lantas menjadi sepi. Halte bus dan trotoar kampus, tempat biasa mahasiswa berlalu-lalang, kini dibalut kesunyian.
Sebuah fenomena yang tidak lazim kita duga sebelumnya. Hari-hari di mana siklus ilmu pengetahuan mendadak ditransformasi pada skema jarak jauh yang akrab dikenal sebagai pembelajaran berbasis digital.
Maka, bagi mereka yang gemar menjadikan kampus sebagai pusat “rekreasi” dan tempat menyibukkan diri, perintah untuk tiba-tiba berhenti melawat ke kampus lalu mendiamkan diri di rumah, barangkali harus membutuhkan latihan khusus.
Hilangnya Diskursus Pengetahuan Ruang Kelas
Benar adanya, kuliah jarak jauh memang telah menjadi skandal meredupnya afirmasi keberpengetahuan. Dengan hanya mengandalkan kelas virtual, gejolak pesta ilmu pengetahuan di lingkungan akademik kian berjalan statis dan pasif.
Kendalanya cukup jelas kita rasakan. Kelas virtual dosen yang selalu terhambat jaringan, misalnya. Atau dengan memilih metode belajar yang lebih instan dengan membagi materi dan tugas mata kuliah lewat WAG (WhatsAppGroup) kemudian dikerjakan oleh mahasiswa.
Bagaimana pun cara tersebut telah mengkonstruksi ruang ilmiah kampus yang kini berimigrasi pada model “penyajian pengetahuan” yang non-dialektis. Kita semakin merasa bahwa kelas virtual merupakan ruang dialogis yang memang sangat serba “terbatas”. Tidak bisa membenturkan gagasan dan jarang menghadirkan diskursus.
Belum lagi kendala teknis yang kerap kita hadapi saat berada di depan layar kamera. Semenjak diberlakukannya, hampir semua sektor pendidikan di Indonesia mengutarakan ketidakberdayaan dan kewalahan mereka dalam menerapkan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh).
Mungkin dapat disadari. Keberlangsungan epistem pengetahuan di arena kampus yang semakin jauh dengan habitatnya, akan menjadi tantangan kita di masa mendatang. Maka kita, tentu saja, merindukan ruang kelas kampus dengan segala kegerumutan aktivitas belajarnya.
Seperti semula, ketika kita hanya cukup mengacungkan jempol lalu bertanya, lantas memberi tanggapan pada sekian banyak paparan materi kuliah seorang dosen di ruang kelasnya. Nuansa belajar yang enggan kita jumpai lagi akhir-akhir ini. Seperti juga riuhnya tanya-jawab dan perdebatan yang melebur di depan papan tulis.
Dan kini, saat hendak melawat ke kampus, ruangan-ruangan kelas itu pun diisolasi, dikunci begitu rapat. Mungkin ditutup untuk waktu yang lama–tapi, tentu saja, bukanlah perihal yang kita inginkan.
Be First to Comment