Juni
Kala datang masa ragaku tak akan lagi kau temukan.
Aku masih ada dalam bentangan, selama kau setia membaca setiap aksara.
Jika kau tak tau harus menaruh rindu pada siapa.
Maka tarulah rindumu dalam ejaan tiap bait ini.
Saat kau tersesat di hutan asmara.
Frasa ini akan menuntunmu sampai tiba di tempat labuhmu.
Dan ketika kau sampai pada apa yang kau mau.
Aku akan usang, berdebu dan tak dapat kau jamah dengan jemari.
Tidak Ada Hujan Bulan Juni
Jikalau mereka bilang ada hujan di bulan juni.
Aku bilang hujannya sudah reda dan menyisakan kubangan becek.
Mereka bilang bulan juni penuh dengan makna yang tersirat.
Aku bilang makna itu sudah terungkap dan hanya meninggalkan jejak kusam.
Mereka juga bilang di bulan juni ada kejayaan disetiap hari.
Aku bilang itu semua sudah berlalu dan tak akan terulang dibulan juni tahun depan.
Aku bilang kita masih ada.
Tapi meraka menolak dan berkata bahwa kita sudah usai.
Aku bilang kau dan aku masih terjaga.
Tapi mereka bilang kalau aku bukan lagi penjagamu.
Hingga pada akhirnya aku pun tak bisa berkata sejujurnya.
Bahwa mereka benar.
Yaa, benar-benar bicara dengan penuh dusta.
Teruntuk Kau
Pucuk benalu tersipuh malu menunujkku.
Aku bersikukuh membalut pungguk candu rindumu.
Tahuku kau beradu.
Kau bersenandung sendu.
Berburu dalam rekaan yang menerka paruhmu. Sadarku mentari menjamu kehangatan dalam selimut tengkukku.
Hingga kau tahu untuk berlabuh pada sang kuasa qalbu.
Tapi jangan kau bual Segala kemelut dipundakmu.
Buatlah sang qalbu selalu merayu.
Agar tak aku meragu.
Ketika sang qalbu sedang merayu, tataplah dengan penuh hikmah.
Hingga dia sedikit merajuk padamu agar tak terbelenggu pada rindu.
Rajuknya menunjukan kasih yang utuh.
Bukan sekadar senyuman yang bersemu.
Semu yang tak berkuasa menahan angkuh yang membunuh.
Karena qalbu bukan hanya tentang kasih.
Bukan hanya tentang rindu.
Tapi tentang semuanya.
Semua yang beradu padanya.
Bukan Ini Itu
Indah tak harus dengan alam.
Kau tak harus ku ibaratkan bagai senja.
Tak semestinya ku naturalkan dengan rembulan.
Aku tak pandai marangkaikan dirimu dengan ini itu.
Apalagi berbicara tentang siup ombak yang menyapu karang.
Aku bukan Shakespeare yang mngumpamakan alam untuk dirimu.
Perfeksionis tak harus melekat dalam cerita tentang kita.
Biarkan nalarku bergelaga diatas tumpuan kaki-kaki malaikat.
Bercengkrama dengan term-term ringan yang tak penting.
Kamu adalah dirimu bukan senja, bulan, mentari ataupun mawar yang merah merona.
Orang akan bilang kalau aku tak pandai dalam bersyair.
Karena mereka hanya bisa menggunakan mata untuk jeloteh magna.
Mari sini sayang, lebih dekat lagi kesini hingga hendusan ku mati terpengap.
Sentuhlah tanganku dan rasakan kencangnya nadiku mengalir.
Jangan tanyakan pada rumput yang bergoyang karena mereka tak bersuara
Mereka juga tak tau mengapa aku memilih mu.
Karena hanya kau dan aku yang tau tentang kita kekasih.
Puisi : Junfahriel
Leave a Comment