Ini bukan soal memamerkan sebuah ideologi “ketidakrelaan”, atau klaim lainnya yang memiliki kesepadanan arti tentang egositas “pemisahan” kelembagaan, atau mungkin dalam keseragaman yang sudah tak lagi menyatu. Tapi soal sebutan, istilah dan nama, bahkan sebuah tataran lingual yang tinggi, yakni telah menjadi wacana. Soal “nama” yang saya sebutkan pada judul uraian di atas memang telah bermaksud menginformasikan bahwa nama (sebutan) sebuah Fakultas yang menghimpun dirinya pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Unkhair itu, yang telah mengalami perubahan sebutan dari Fakultas Sastra dan Budaya (FSB) menjadi Fakultas Ilmu Budaya (atau disingkat FIB).
Secara lingual (bahasa), meskipun perubahan sebutan dan istilah itu bukanlah suatu perubahan besar sebuah tataran kebahasaan (dalam pengertian perubahan Ejaan dan Kaida-kaida bahasa yang direstui oleh pihak lembaga kebahasaan), namun saya cenderung melihat kepastian perubahan atau pergantian “nama” dan istilah tersebut yang telah kontekstual digunakan pada kalangan mahasiswa, lingkungan akademik, sebutan mahasiswa, bahkan pada Cover makalah dan laporan mahasiswa, mengalami makna perubahan, atau upaya pelemahan makna yang juga sangat “signifikan”, namun saya tidak memberi pernyataan bahwa pergantian “Nama” tersebut, dari FSB ke FIB adalah sebuah “Revolusi kata” yang mahadahsyat. Apalagi dengan kekuatan lingual itu, dapat juga mendorong kekuatan Semantik (makna) yang jelas melahirkan berbagai perspektif yang saya sebut sebagai ideologi “Ketidakrelaan” di atas.
Bila uraian ini dikritik, saya hanya menjawab “Jangan ganti namaku”. Belum lagi sibuknya mahasiswa dan lingkungan akademiknya untuk beradaptasi atau menyesuaikan dirinya dengan nama dan sebutan tersebut. Cover makalah, skripsi, proposal, juga laporan dan semua karangan Ilmiah yang membutuhkan nama dan sebutan tersebut sebagai ihwal “Identitas” kelembagaan harus disematkan pada rana “Kognitif” mahasiswa, para dosen, TU, Dekan, Wakil Dekan, dan anggota Dekanat lainnya.
Barangkali, yang juga sekaligus menjadi kelemahan tulisan ini adalah tidak adanya data kongkret yang diperoleh lewat hasil wawancara, ataupun upaya menggali penjelasan tentang persoalan di atas, yang tentunya mendukung tulisan ini. Tapi, hipotesa yang sementara berkembang diantaranya: 1). Statuta Universitas yang telah merestui pergantian nama tersebut, yakni dibuktikan dengan coretan tanda tangan; 2). Pengusulan konsep pergantian sebutan yang telah disediakan beberapa lintas tahun silam oleh pihak fakultas berdasarkan hasil rapat; dan 3). Yang menurut saya, sebuah upaya “pemugaran” nama atas klaim kelompok akomodir yang mendominasi sektor pengetahuan (yang sudah pasti menyatakan dirinya lebih unggul).
Kita punya cita-cita besar yang tak boleh diganti namanya
Senada dengan itu, saya tidak mengambil bahkan mengaitkan konteks kuasa bahasa atas dampak historis yang melanda bangsa Indonesia dari segi penyebutan istilah kekuasaan yang dipraktikkan pada rana politik (ajang perebutan kekuasaan) misalnya yang diungkapkan Yudi Latif, bahwa sengaja istilah (sebutan) rezim “Orde baru” itu sebagai penangkal pernyataan bahwa rezim Orde Lama (ORLA) adalah upaya pelemahan secara lingual sehingga orang dan ORBA sendiri memaknai, lebih-lebih menjustis Orde Lama sebagai piranti kekuasaan yang lemah, demikian ORBA menyatakan dirinya sebagai suatu “Pembaharuan” kekuasaan yang kiprah kekuasaanya lebih mendominasi. Inikah yang akan terjadi dari sebutan FSB ke FIB di atas? Saya harap, semoga saja tidak.
Horizon penyebutan akan bertengker dan tidak menuntut kemungkinan dapat memperbaharui lanskap peristilaan akademik itu sebagai klaim dominasi baru atas kuasa pengetahuan. Barangkali juga saya menganggap beberapa persoalan yang mesti diperhitungkan menjadi dasar ikhtiar kita.
Ketidakkonsistenan nama dan istilah tersebut juga tercermin pada sikap akademik mahasiswa yang memilih meninggalkan jurusan utamanya (besik keilmuan), menyatakan dirinya sebagai seorang mahasiswa Konfersi (pinda jurusan) – yang jelas memindahkan ingatan istilahnya kemudian beradaptasi dengan disiplin ilmu dan istilah akademik (jurusan) baru. Sekiranya, program Studi yang mengatasnamakan disiplin (kemanusiaan, kebahasaan, budaya, dll) itu memiliki tenaga pengajar yang sangat profesional menjelaskan diskursus kebahasaan dan kemanusiaan yang saya maksudkan ini.
Saya sendiri juga berspekulasi ada peruntuhan orientasi (arah) cita-cita mahasiswa. Kuota Sarjanawan yang telah berstatus alumni kiranya berangkat dari impian yang didukung dengan apa yang telah terpampang awal pada papan nama Fakultas yang masih mengatasnakan kemajemukan bahkan keindependensiaan dirinya (sastra dan budaya). Yang secara semantik menghilangkan bentuk makna leksikalnya (sebagaimana bentuk fonemik dan fonetiknya yang sudah total berubah dari artikulasi kita). Atau, ada cara morfemis yang menghilangkan (mengalami lesapan) bunyi ‘sastra’ yang disangga sebagai “pengganggu”.
Baiklah, kalaupun alasan lain menitikberatkan perubahan nama itu saling berterima dengan pengertian aspek “Dinamit” yang sewaktu-waktu dalam dunia peristilaan harus diubah kemudian terpolarisasi dengan konteks perkembangan zaman dan pengetahuan, barangkali pihak pengusung sebutan itu juga harus memikirkan berbagai genre mata kuliah yang mesti dipadukan dengan perubahan nama tersebut.
Misalnya; penerapan metode pembelajaran yang lebih kontekstual (kalau bisa melawan regulasi akademik yang tersistem itu) dengan cara “memadukan” interdisiplin ilmu “Humaniora” dengan perkembangan pengetahuan para peneliti, ilmuwan, bahkan “Pencetus” kajian-kajian baru. Saya mengambil contoh salah satu mata kuliah yang tidak terpampang pada jadwal, yakni ekokritik sastra yang mendukung mahasiswa sastra Indonesia dan Sastra Inggris untuk menambah wawasan kesusastraannya. Singkatnya, minimalisir keseimbangan perubahan nama tersebut juga harus didukung dengan pembaharuan orientasi akademik yang lebih “Signifikan”. Apalagi ini merupakan dongkrat impian mahasiswa Fakultas Sastra dan budaya (yang masih saya sebutkan istilahnya pada kalimat ini).
Akankah sebutan ‘Sastra’ benar-benar dihilangkan?
Saya tidak mungkin memvonis, lebih-lebih menyakratkan, bahkan mengandaikan praduga hilangnya Bentuk ‘sastra’ pada papan nama Fakultas (nomenklatur) sendiri sebagai proses lesapan yang “dikubur”. Tapi hal itu mulai tampak pada dialog (ujaran) sebagian mahasiswa di fakultas sastra sendiri, saya tidak menyebut program study mereka, dan juga, semacam ada lintas keluhan singkat yang menerpa dinamika ini. Sayangnya, saya sendiri mengakui minimnya kajian itu oleh mahasiswa di kedai-kedai kopi, kantin, dan dalam ruangan belajar ketika seseorang melontarkan pertanyaan. Namun, apakah arah “akademik” juga berubah dengan hangatnya pergantian nama itu? mari kita cerna bersama.
Oleh: Rian Hidayat Husni, Tim lpmmantra.com
Leave a Comment