“Dengarkan aku! Aku adalah begini dan begitu. Janganlah, di atas segalanya, mangaburkan Aku dengan yang bukan Aku” —Nietzsche
Nietzsche, pembicaraan tentangnya tidak pernah klasik dalam perkembangan filsafat barat dan ilmu psikologi (ia setara kalau harus duduk semeja dengan Freud dan Lacan). Kita mengenal para eksistensialis berkat cara menyampaikan kewarasan dengan wibawa kegilaan.
Berkenan dengan dunia mengarang dan eksistensialisme, di Indonesia dulu, Iwan Simatoepang mencipta “tokoh kita”. Para pengarang membuat ingatan tidak pernah absen dari sekian tokoh kita; Lantip, Guru Isa, Pariyem, dan lain-lain. Sekian tokoh itu pun mudah dikenali walau tak harus berkawan intim dengan kanonisasi; kita hanya cukup kenal melalui beberapa buku yang garing atau debat satire.
Sekian tokoh itu aneh. Kita membaca sekian teks sastra dan akhirnya (bisa) mengenali dan mengagumi kalau bukan membenci tokoh. Para tokoh dibuat dengan penuh perhitungan. Seperti yang terjadi belakangan ini, pembaca akan kaget saat berkenalan dengan “tokoh kita”.
Pada masa 1950-an sampai 1980-an, tokoh-tokoh dalam novel Indonesia memiliki keanehan-keanehan. Konon para pengarang punya kesaktian dan kesintingan, yang pada masa berbeda kita mengganggap biasa karena “kejutan dan keterpanaan” berkurang meski para pengarang eksis menulis tokoh-tokoh aneh; tokoh tak selalu manusia (fabel).
Di Basis edisi 1969, esai berjudul “Orang-orang Aneh dalam Sastra” garapan Drs. Budi Darmo. Siapa mengenal esais Budi Darmo? Luar biasa, ia memakai gelar: Sekian Drs. Sastra Indonesia mengenal karib nama itu (Budi Darma). Kita tuduh saja Budi Darmo itu Budi Darma, pengarang cerita pendek dan tokoh-tokoh aneh.
Beliau menulis: “Orang-orang aneh tidak dimaksudkan semata-mata untuk memancing sensasi murah. Banyak memang orang-orang sinting jang dijadikan bahan oleh penulis-penulis bukan literair untuk memancing sensasi yang dapat merangsang dan menegangkan syaraf pembaca“.
Kita akhirnya membuktikan Budi Darma menulis sejumlah prosa dengan tokoh aneh bukan bermaksud sensasi murah. Esai itu ditulis sebelum terbit novel Olenka. Pada bagian lain beliau menulis: “…Ketjuali kesintingan sendiri membentuk sensasi, kesintingan djuga membentuk konflik. Dalam konflik djuga membentuk sensasi, dan konflik djuga membentuk korban. Kesintingan djuga menimbulkan berganda-ganda ragam“. Budi Darmo atau Budi Darma itu tampak kalem dan parlente, bukan pengarang sinting.
Soal kesintingan, tak lain tentang menghindari kewarasan yang berlebihan. Pengarang posmo menganggapnya sebagai keterasingan, alienasi. Banyak orang harus merasa asing berkat individualisme dan liberalisme yang berlebihan.
Kita membaca Friedrich Naumann “Stiftung: Für Die Freiheit” yang ditulis piawai oleh Amato Assagaf dengan cara yang berbeda “Merenungkan Libertarianisme”. Semula tulisan itu tidak dianggap ilmiah. Di Manado, akhir April 2012, saat Friedrich Naumann Fondation for Freedom (FNF) dan Freedom Institute mengadakan workshop tentang perubahan iklim dan Ide Kebebasan, barulah renungan Amato itu masuk dapur penerbit.
Tidak ada yang istimewa, tidak ada perdebatan di dalam buku itu. Kita membaca kebebasan diberi kode tertentu pada tiap zaman. Libertarianisme adalah tafsiran radikal yang paling kontemporer terhadap liberalisme klasik: sebuah cara pandang untuk melihat dunia saat ini dengan kacamata prinsip-prinsip dasar yang telah dirumuskan oleh pemikir klasik liberalisme, pun sebagai peringatan sentimental terhadap belum terwujudnya perilaku menghargai hidup, kebebasan dan hak milik setiap orang sebagai individu (bukan hanya sebatas sebagai warganegara individual). Di satu sisi, untuk mengembalikan poin penting yang (dianggap) hilang dari liberalisme klasik; elan vital perjuangan revolusioner dari kaum radikal seperti Thomas Jefferson.
Kebebasan dan kewarasan, kita punya topik menarik untuk dibicarakan, meskipun tak pernah selesai. Kita berhubungan dengan tema-tema tersebut tentu karena eksistensi semakin seksis; lahirnya feminisme, ekofeminisme. Kita mengenal Bell Hoock terbiasa menulis namanya (bell hoock) bukan dengan “capital letter” karena ia anggap terlalu patriarki. Hannah Arendt harus meyakinkan kaum laki-laki bahwa hukum dan bentuk-bentuk pendisiplinan yang lain perlu ditegaskan melalui pikiran perempuan, Alison Jaggar menulis “The Spring” bukan tanpa alasan.
Kewarasan berkeinginan meyakinkan seseorang, sementara kebebasan memberi batas yang tegas antara “the ethic of right” vis a vis “the ethic of care“. Sayangnya cara kita membaca dua hal tersebut dalam bentuk sarkas dan ironi. Kita tahu sarkasme dan ironi memiliki perbedaan dalam intensitasnya yang ditandai oleh keofensifannya. Meskipun begitu, keduanya (sarkasme dan ironi) dimaksudkan untuk menyatakan kebenaran, dan oleh karena itu mestinya ia absen dari defamasi; fitnah serta false statement.
Persamaan keduanya adalah menyatakan A sama dengan -A. Jika A dinyatakan A maka itu disebut blasphemy. Sarkasme dan ironi adalah mode bahasa sedangkan satire adalah genre sastra. Satire sudah tentu menyindir sesuatu dengan unsur humor di dalamnya (bedakan dengan lelucon). Sebagai genre ia bisa menggunakan mode sarkasme atau ironi, atau malah keduanya untuk menyampaikan maksud. Pembaca yang literer harus punya seperangkat kode semiotik untuk menyatakan pikiran melalui satire kalau tidak mau dianggap kekurangan bahan candaan. Tapi lupakan satire, kita tidak memerlukannya dalam era ”hot speech”.
Tokoh kita yang lain bernama Wiratmo Soekito. Orang mengenang sengketa sastra masa 1960-an tentu karib dengan Wiratmo Soekito. Ketika tahun-tahun berganti, tokoh kita itu semakin tidak dikenali, mereka jarang dimunculkan dalam perbincangan sastra Sial. Dulu, ia menulis esai berjudul “Jika Seorang Novelis Pria Menokohkan Seorang Wanita” dimuat di Kartini, 2-15 Februari 1981. Judul itu jelek. Isi tulisan jangan diremehkan.
Wiratmo Soekito itu berkawan intim dengan buku-buku. Tokoh kita menulis: “Memang banyak novelis pria yang menokohkan seorang wanita, tetapi mereka tidak berani bercerita sebagai wanita”. Kalimat itu menjadi kritik pembangunan (terutama novel) di Indonesia. Referensi Wiratmo tentu bacaan-bacaan asing. Pada akhir esai, Wiratmo seperti tak mau dibantah. Ia menulis: “Tidaklah kiranya novel mengenai wanita itu ditulis oleh seorang wanita, meskipun awalnya diilhami oleh fantasma para novelis pria“.
Kita tahu pada masa berbeda, dua esais (Darmo dan Wiratmo) serius memikirkan tokoh. Mereka seharusnya dimasukkan dalam album esais (seksis) di Indonesia. Seperti Judul yang jelek, usulan pun boleh ditolak. Begitu!
PUSTAKA:
Basis 1969. Darmo Budi, Esai “Orang-orang Aneh dalam Sastra”.
Emhaf. 2017. Nietzsche, sebuah catatan pergumulan dan bentrokan. Bantul: PT AHI.
FNF, 2012. Assagaf Amato. “Merenungkan Libertarianisme”. Kebayoran Baru: Jakarta.
Kartini, 2-15 Februari 1981. Soekito Wiratmo. “Jika Seorang Novelis Pria Menokohkan Seorang Wanita“.
Ilustrasi: nalarpolitik.com
Leave a Comment