TANAH TUMPAH DARAH DIJAJAH
di tanah tumpah darah
langit manusia menjalar kabut
mengundang gemuruh berkali-kali
umur bukan lagi tangga hidup yang dihormati
apalagi merenungkan ribuan rahmat di atas bumi
tanah tandus, kering-kerontang, air tak mengalir
manusia sia-sia
semua terbakar ego dan libido
udarah sesak, pepohonan dan gunung berlarian
satu persatu gubuk-gubuk bermunculan mengundang kemelaratan. Jadilah petaka
Semua tumbuh subur dengan kesiksaan kekayaan, kemiskinan, perkotaan, pabrik, trotoar, perumahan. semuanya penjajahan
pantun dan syair-syair para petani, nelayan dipotong-potong, diganti, dibuang, jauh-jauh
hingga pantun dan syair-syair itu kembali lagi
dengan rupa yang lain, maksud yang buruk, dan takdir yang ganas
Selamat pagi, tanah tumpah darah
engkau dijajah
============================
PULANG KAMPUNG
dan kami hampir tak mengenal apa-apa kini
suara-suara yang menabrak sukma hari ini, dipenuhi muatan basa-basi, dan rasa sakit hati
sebab kami tak lagi mengenal bahasa dan meninggalkan majelis rasa
hingga robohnya bangunan budaya
beberapa bulan lalu, Saya tinggalkan kota
dengan kokoh niat menuju kampung kita
pulang kampung adalah perjalanan menempuh makna
menyapa damai dan bersenggama bahagia
tapi kawan, kini kita dapat apa dari bahasa itu
sapa yang akan membimbing kita menuju kampung?
menuju bahasa yang tak biasa, dua kata yang siapapun ia pasti mengenalnya, berdamai dengannya
alam dan manusia, mungkin akan sia-sia
lihat saja pulau-pulau bersejarah itu
atau pantai-pantai yang penuh kenangan di situ
ditebang, digusur, dikeruk, dikotori
tanpa penghormatan dan kemuliaan
tanpa belas kasih kemanusiaan
lihat pula seorang ibu tua di bawah terik itu
menggendong anaknya, mengais rejeki di tebing-tebing batu
sedang di samping kiri-kanan mereka berdiri rumah-rumah ber-AC
pulang kampung kini bukan lagi bahasa kita
kata-kata itu bagai sembilu
bagai angin lalu
yang menusuk-nusuk qalbuku
Saya bernasib pilu, berlapis luka, dan dikepung duka
lalayon kini tak lagi mendapat tempatnya
Kabata kini berlarian entah di mana, entah ke mana
belantara hutan dan gugusan gunung-gunung
tidak untuk dikeruk oleh tangan-tangan serakah
tidak juga untuk penjilat tahta
kawan, kini Saya tak dapat pulang kampung. sebab Halmahera kampungku akan hilang. Perahu Halmahera hampir tenggelam ke dalam lautan modernis. Sepanjang matarasaku memandang hanyalah pemandangan miris.
bila dahulu modal kampung adalah keikhlasan dan kekeluargaan, kini dirubah jadi transaksi untung rugi yang mengundang petaka.
maka dengan puisi ini Saya bersaksi: bahwa sejarah-alam-budaya Adalah jati diri ummat manusia.
bila hilang salah satu, hilang seluruhnya
sungguh kawan, ini hari Saya tak lagi pulang kampung
apa dan siapakah yang mesti diselamatkan?
kampungkah?
kotakah?
manusiakah?
atau alam?
terimakasih!
=============================
ALAM HANYALAH BARANG DAGANGAN
bumi makin jauh dari tapak manusia
langit bagai jatuh di pundak mereka
diam juga tak bisa kini menuai arti
karena gerak-gerik sang petani di atas belati
para nelayan perlahan kehilangan kemudi
sesiapa di batas ladang bertahan
hantu dari negeri seberang tak dikenal
datang mengganggu nasib orang kecil
apa artinya tanah, bila bumi makin jauh dari tapak manusia
apa arti lautan, bila nelayan jauh dari ikan
apa artinya langit, bila siang dan malam jadi sia-sia
di manakah kemanusiaan,
jika alam dipandang hanyalah barang dagangan?
=================================
Karya: Rachmat Marsaoly, penulis bebas yang berkelana dengan kata-kata
Leave a Comment