Pernahkah kita melihat segerombolan anak muda necis lengkap dengan selempang dan peci kehormatanya itu, tumpah ruah di jalanan mogok karena menolak laju perampasan ruang hidup oleh oligarki? Atau ikut diskusi dengan warga korban penggusuran merumuskan taktik pengorganisiran warga merebut kembali tanahnya? Lantang berteriak setiap kamis sore karena gumpalan kekecewaan terhadap rezim atas problem HAM, menguatnya oligarki yang membajak demokrasi, krisis iklim, ketimpangan kemiskinan, mewabahnya korupsi, hingga perampasan lahan untuk hilirisasi nikel. Pernahkah?
Anak-anak muda yang menyematkan islam pada organisasinya, saban hari fasih menyebut umat dan bangsa, yang pernah dibanggakan sebagai “harapan masyarakat Indonesia” oleh Jendral Sudirman itu, barangkali adalah millennials and Gen Z yang didambakan oleh Jokowi, atau motto kanda Arief Rosyid, komisioner milenial itu; muda kaya raya mati bahagia. Kalau Presiden Soekarno dulu sangat mendambakan 10 pemuda saja untuk mengguncang dunia, maka para kanda-kanda di jajaran pengurus besar yang jumlah ratusan itu bisa menginisiasi perubahan fundamental dan mereformasi struktur politik yang timpang di negara ini. Toh, jumlah mereka jauh melebihi yang diharapkan Soekarno.
Nyatanya harapan itu nihil belaka, selain realitas bahwa mereka adalah tentakel yang mengoperasikan bekerjanya sistem oligarki, elit, “Don”, kanda masif menyusupkan dogma bahwa semua baik-baik saja, menjelma sebagai aktor perantara yang menggembosi gerakan dan mematikan daya resistensi kader, atau memobilisasi demonstrasi pesanan dan gerakan tandingan yang diujung gerakan sudah pasti bagi-bagi jatah nasi bungkus, mereka yang sedang membagikan foto pejabat dengan caption “semoga sehat selalu kanda”.
Sampai disini, kita lantas bertanya apa yang dimaksud umat dan bangsa yang diperjuangkan oleh organisasi mahasiswa terbesar ini? kabarislam macam apa yang menjauhkan mereka dari problem sosial? Apa artinya NDP dan gaya-gayaan mempertanyakan tuhan para masternya kalau disaat yang sama umat yang diperjuangkan itu sedang terlilit problem struktural akut, akibat agenda borjuis kekuasan dan pemilik modal.
Bukankah alumninya sukses menguasai posisi elektoral strategis di negara ini? Bukankah dengan keterlibatan mereka akan menjadi angin segar, keterlibatan langsung dalam merumuskan agenda strategis bangsa, mengintervensi kebijakan publik berorientasi untuk perbaikan umat? Yang ada barangkali adalah aksi lucu kanda Mahfud yang hipokrit membela perpu cipta kerja, Bahlil yang entah apa yang merasukinya tiba-tiba minta jabatan presiden Jokowi diperpanjang serat doyang menjual tanah air indonesia ke investor berkedok pertumbuhan ekonomi kesejahteraan, atau milenial Arief Rosyid yang gemar kampanye bank syariah berlabel islam dan umkm tapi menyokong perusahan ekstraktif perusak lingkungan.
Pada aspek gerakan, selain elitis unfundamental juga menyerupai lembaga amal, dan menyokong status quo. Perayaan milad misalnya, pengurus besarnya langganan santunan yatim piatu, (selain musiman) tanpa mempertanyakan apa yang menyebabkan demikian, kenapa mereka jadi miskin, serta hal-hal yang berkelindan dengan kondisi materiil mereka. Nyaris tampak seperti pemadam kebakaran yang datang memberi bantuan saat semua telah ludes dilalap api, tanpa berupaya menambal kerusakan sistemik biang kerok ketimpangan materil. Artinya, santunan yatim piatu harus berbarengan dengan gerakan advokasi yang memproyeksikan perubahan struktur politik dan ekonomi yang memungkinkan perbaikan kondisi materil subjek advokasi. Sehingga perayaan milad-milad setelahnya tidak lagi repetitif mengulangi proyek populis itu.
Saat ini, era dimana gadget dan perangkat komputer begitu mudah diakses setiap orang harusnya bisa menyediakan banyak peluang tetap survive dan berbuat lebih. Kalau seorang Mamat Alkatiri dan Bintang Emon saja bisa mempengaruhi opini publik dan ramai berseliweran di layar pengguna medsos karena aksi roasting kritis mereka, masa seorang Ketum PB HMI tidak bisa. Lalu apa gunanya punya organisasi mahasiswa terbesar, posisi sosial yang strategis, dan alumni yang tersebar di berbagai sektor. Satu cuitan kritik di twitter dan dibagikan setengah saja dari jumlah kader yang ribuan bisa mempengaruhi kebijakan nasional, atau paling tidak kampanye borok kebijakan negara. Bayangkan, kalau saja ketum PB mengomentari tambang ilegal dan penggusuran di wadas, atau nasib pulau kecil sangihe dari ancaman tambang emas, serta kehancuran ekologi di pulau Obi akibat tambang nikel, mungkin Bahlil dan Luhut berpikir dua sampai tiga kali untuk menggerakan pasukan TNI/Polri serta mengutamakan cara-cara lebih manusiawi.
Beberapa kasus diatas adalah secuil saja dari kemelut dan kompleks beragam masalah sosial di indonesia, dan HMI punya privilese lebih untuk sekedar menggerakkan gelombang protes sosial serta mengorganisir elemen progresif masyarakat. Setidaknya, epos kesejarahan HMI telah membuktikan itu.
Akhirnya, kita mesti jujur bahwa “masyarakat adil makmur” tidak akan terwujud diatas kerusakan lingkungan serta kemiskinan, dan tentu saja tidak diridhoi Allah SWT! So, Selamat Milad Himpunan Mahasiswa Islam, bertaubatlah Kanda.
Sumber Ilustrasi : Www.lpmprogres.com
Oleh : Risdian Kayang | Anggota Biasa HMI cabang Ternate
Leave a Comment