Oleh Victor Zapata
Prosa: Victor Zapata
Bukankah tuan-tuan yang mulia sendiri menjual hutan, tanah, lahan (rakyat) untuk kepentingan modal (korporat/kapitalis), karena tuan sendiri lakon dan dalangnya semua ini.
Dan tuan-tuan merusak, merampok, menjarah selama ini. Segala-galanya di atas tanah dan isi bumi telah menjadi uang kemuliaan dan keserakahan tuan-tuan.
Tuan-tuan jadikan semua yang bisa dikomersialisasi adalah barang dagangan untuk tuan-tuan produksi demi investasi, profit tuan-tuan.
Tuan-tuan juga jadikan manusia sebagai hamba abdi, tenaga kerja, terampas tanah (terpisah antara petani dengan alam-lahan) hidupnya. Dan buruh terdesak menjual tenaga kerjanya jadi barang dagang tuan sendiri.
Tuan-tuan MEMBUNUH begitu banyak hewan, merusak pohon, mencemari air, dan sebagainya dan sebagainya selama ini.
Tuan-tuan juga bergelimang dengan keringat, air mata, darah, dan nyawa manusia, yang tuan-tuan buat tak bahagia, tak bermartabat, tak punya moral, individualis, dan tidak berani untuk mempertahankan hak mereka.
Tuan-tuan punya aparat, hukum, penjara, pengadilan, uang, dan bahkan jadi manusia pencabut nyawa.
Tuan-tuan punya lembaga formal, dalam bisnis ekonomi–tuan-tuan punya kekuatan politik, tuan-tuan punya presiden, gubernur, bupati, walikota, camat, kepala desa, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, norma dan nilai-nilai tradisional yang feodalisme dan jadikan martir untuk menindas-menghisap serta mengekang kami dengan mitos takdir sebagai yang melata dan mengais-ngais hidup ini adalah hasil dari buah kemalasan–kepalsuan dogma hukum hidup–yang tuan pertahankan selama ini.
Termasuk punya kuasa dari lembaga pengatur (pembuat) kebijakan: DPRD, DPR-RI, DPD, dan badan (lembaga) lainnya jadi hak melegitimasi kuasa dan pertarungan modal tuan-tuan.
Jangan sangka kepada mereka tidak jadi tantangan berat. Tuan-tuan tahu, hukum sejarah dan fakta hari ini, tuan-tuan sendiri menciptakan genderang keresahan dan PERLAWANAN itu.
Namun, tuan-tuan masih tetap mempertahankan semua kebijaksanaan tuan-tuan sendiri yang diselimuti dengan keindahan makhluk yang namanya pembangunan (infrastruktur) demikian tuan-tuan bilang rumus dari semua stabilitas ekonomi dan politik. Kesejahteraan, keadilan, kesetaraan, kemakmuran, kemerdekaan adalah niscaya mimpi siang bolong.
Tuan-tuan yang mulia, semua ini tidak akan berakhir, dan tuan telah menulis, meminta juru tulis, juru nasehat–banyak hal tentang kejayaan tuan dengan kebijakan tanpa mengungkap kebohongan, kemunafikan tuan, hanya kebaikan palsu dan keindahan hidup tuan saja, dan kami jadi tumbal semua hasil itu, lalu tuan bilang ini adalah seni kehidupan.
TAIK!
Dan tuan-tuan mulai ciptakan sumbuh letusan itu. Tapi tuan-tuan tau, rakyat seperti kami hanya jadi bola—mainan kepentingan tuan-tuan, termasuk kaki tangan hidupnya tuan-tuan di negeri hancur-hancuran ini.
Tuan-tuan telah merampas semua hak kami, dan kami belum juga mau melawan, membakar semua sumbuh letusan itu untuk meledak merongrong kerajaan kebijaksanaan tuan itu.
Kami sadar tuan, kalau pun kami melawan hanya sebagian saja yang benar-benar punya keyakinan, bahwa; tuan-tuan harus tumbang! Kebanyakan belum bisa bersama, namun kami masih berusaha teguh atas pilihan yang kami ambil, di mana pun, konsekuensinya: TIRANI HARUS HANCUR!
(Dibikin di Ternate, 5 Mei 2020)
Leave a Comment