Sesat Pikir di Ruang Akademik

Oleh: Arjun Benteng | Mantra

Saat masih di jenjang sekolah dasar, para pengajar sangat ketat dalam menilik tiap tugas atau pekerjaan rumah yang diserahkan untuk diselesaikan para siswa. Hari ini tugasnya dikumpul, hari ini juga diperiksa dan hasil dari tugas para siswa tersebut bisa langsung mereka lihat. Dari sepuluh pertanyaan yang diberikan, bila benar semua para siswa akan mendapat angka seratus. Jika salah semua para siswa akan diberi dua buah lemon alias dua angka nol.

Di sekolah dasar, tugas para siswa tak pernah hilang kabar. Tak pernah diabaikan. Selalu dalam perhatian. Jika sudah sampai ke meja guru, sesaat kemudian kualitas dari tugas para siswa langsung diumumkan. Apakah para siswa tersebut mendapat angka seratus atau dua buah lemon yang sangat asam dipandang, hasilnya langsung mereka terima.

Di perguruan tinggi beda lagi, tugas mahasiswa terkadang hilang kabar. Para mahasiswa diberi tenggat waktu untuk menyusun sebuah makalah. Setelah makalahnya rampung dan diserahkan kepada tenaga pengajar, tugas tersebut tak pernah pulang ke tangan para mahasiswa berupa hasil dari penilaian pengajar, melainkan  lenyap seketika. Malah mahasiswa ditimpakan dengan tugas baru lagi, lagi dan lagi.  Para mahasiswa tak pernah tahu apakah makalah yang barusan mereka rampungkan itu kualitasnya pantas dihargai dengan dua buah lemon atau tidak. Yang mereka terima hanya akumulasi nilai setelah akhir semester dalam bentuk A, B, C, D dan E. Itupun dari hasil akumulasi kehadiran, ujian semester dan tugas-tugas yang pernah ia kerjakan. Entah tugas-tugas itu telah diperiksa dengan sungguh-sungguh atau tidak dan dikerjakan dengan jujur dengan hasil yang bagus atau tidak.

Tugas-tugas yang tidak divonis kualitasnya, hal seperti ini sangat membuat senang mahasiswa yang pemalas. Kondisi pendidikan seperti ini memiliki berkahnya sendiri bagi seorang mahasiswa yang benar-benar pemalas. Bahkan bisa membuat mahasiswa yang rajin menjadi pemalas. Toh, karna mahasiswa tersebut tidak harus bersungguh-sungguh dalam merampungkan tiap tugas. Buat saja seadanya. Jika itu sebuah makalah, goggling saja materi-materi yang relevan lalu salin dan tempel. Selesai deh. Memangnya dipedulikan. Akibatnya bisa lebih parah lagi.

Praktik plagiarisme bisa tumbuh subur di ruang akademik bila tiap tugas dibiarkan lewat begitu saja tanpa dievaluasi dengan sungguh-sungguh oleh tenaga pengajar, karna kemalasan mahasiswa kadang menghalalkan plagiarisme dalam mengerjakan tiap tugas yang dibebankan padanya.

Sesat Pikir dan Plagiarisme

Jika cara berpakaian mahasiswa saja diperhatikan dengan saksama, seperti harus menggunakan celana panjang dan tidak boleh menggunakan kaos oblong saat mengikuti pembelajaran di kelas, mengapa tugas-tugas mahasiswa berupa makalah tidak ditelisik dengan sungguh-sungguh sebagai usaha dalam menjaga moralitas mahasiswa, terutama praktik plagiat atau plagiarisme. Bukankah para koruptor rata-rata adalah orang yang selalu berpakaian sopan dan rapi tiap hari.

Tiap tugas harus ditimbang dan kualitasnya harus segera dibeberkan, seberapa buruk dan seberapa baik tugas mahasiswa yang telah dirampungkan itu supaya tidak terkesan “yang penting sudah dikerjakan”, sehingga mahasiswa juga tidak bersikap “asal jadi”.

“Asal jadi” dan “yang penting sudah dikerjakan”, oleh Fahruddin Faiz dalam buku Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika menyebut sikap atau pernyataan seperti ini cenderung akan mengarahkan kita pada sesat pikir dalam bentuk action bias. Action bias sendiri dalam buku tersebut diartikan sebagai sebuah tindakan yang telah diambil, tapi tak melihat ketepatan, fungsi dan efektivitas tindakan yang sudah dilakukan. Ini seperti tugas berupa makalah yang dikerjakan sekenanya saja oleh mahasiswa, tanpa menaruh peduli pada kualitasnya. “Pikiran yang terjebak action bias biasanya hanya melihat tindakan yang diambil, tanpa melihat kualitas dari tindakan tersebut,” tulis Fahruddin dalam buku tersebut.

Dalam pemberitaan JawaPos (27 Oktober 2021), Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Profesor Mayling Oey-Gardiner mengatakan bahwa praktik plagiarisme di perguruan tinggi masih jamak terjadi. Apalagi dalam pembelajaran daring saat ini.

Menurut Mayling, dalam model pembelajaran daring atau virtual yang banyak dan masih diterapkan saat ini, godaan untuk plagiat semakin intens, karna internet telah memudahkan siapa pun dalam mengakses informasi, berbeda dengan melacak informasi yang dibutuhkan di buku dan jurnal di perpustakaan. Gunting tempel atau copy paste adalah cara yang jamak dilakukan dalam praktik plagiat. Hal itu ia sampaikan dalam webinar Indonesia Cyber Education Institute di Jakarta (27/10).

Menghapus 100 persen praktik plagiarisme, menurut Mayling seperti yang diberitakan JawaPos.com, bukan hal yang mudah. Tapi kita bisa mengambil langka untuk menekannya. Mayling menawarkan cara untuk menekannya, yaitu dengan membentuk unit khusus  yang mengawasi dan sosialisasi tentang plagiarisme sejak perkuliahan perdana tiap tahun akademik baru.

Penilaian sejak dini—sesaat kemudian setelah tugas kuliah di serahkan—ini harus dilakukan sebagai langka “mengawasi” untuk menetralisir kemalasan mahasiswa yang selalu bersikap “asal jadi”, dan sebagai upaya untuk menangkal sesat pikir di ruang akademik dalam bentuk action bias. Jika tenaga pengajar sudah tidak bersikap “yang penting sudah dikerjakan”, Insah Allah, mahasiswa tidak akan banyak berlagak “asal jadi”.

*Tulisan ini pertama kali dimuat di Malut Post edisi Rabu, 10 Agustus 2022.


Editor : Redaksi

More Reading

Post navigation

Leave a Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *