Press "Enter" to skip to content

Unkhair Jadi Kampus Terbaik, Ruang Demokrasi Mahasiswanya Justru Terpuruk

Opini Rian Hidayat Husni | 28 Agustus 2020

Seluruh universitas di Indonesia saat ini telah berada pada kendali hegemoni yang berupaya membius orang untuk mendengarkan keputusan negara (Rocky Gerung, Pengamat Politik).


Universitas Khairun (Unkhair) Ternate resmi menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) peringkat pertama di Maluku dan Maluku Utara. Klasterisasi ini diumumkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) dan Kemendikbud Republik Indonesia pada Senin (24/8). Kabar baik ini meletup bersamaan dengan perayaan Dies Natalis Unkhair yang sudah menanjak usia ke-58 tahun.

Dengan menyandang predikat kampus terbaik di dua wilayah regional, Unkhair telah menunjukkan kualitas kinerja akademiknya kepada berbagai lapisan masyarakat. Atau setidaknya, seorang mahasiswa baru yang memasuki gerbang kampus ini, akan bangga menepuk dada karena dirinya lolos seleksi di kampus ternama tersebut.

Setidaknya, klasterisasi ini merupakan upaya Ditjen Dikti untuk melakukan pemetaan atas kinerja perguruan tinggi akademik di Indonesia yang berada di bawah binaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Klasterisasi Perguruan Tinggi berfungsi untuk menyediakan informasi kepada masyarakat umum tentang kualitas kinerja perguruan tinggi di Indonesia.

Ditambah lagi, peralihan status universitas yang sedang beralih menjadi Badan Layanan Umum (BLU) setelah sebelumnya terpaku dengan otonomi Satker, makin menunjukkan kampus favorit di Maluku Utara ini patut menunjukkan kemampuannya untuk bersaing dengan PTN ternama di Indonesia. Upaya tersebut tentu saja membutuhkan proses yang panjang.

Status hukum BLU Unkhair tampaknya menjadi agenda impian Prof. Dr. Husen Alting (Rektor Unkhair) bersama jajarannya di Gedung Rektorat Unkhair. 2018 lalu, Unkhair memang mengajukan koordinasi terkait Tim Pembentukan BLU Unkhair kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Maluku Utara, Jumat 6 April 2018.

Dalam koordinasi itu, Husen Alting memberi pernyataan bahwa perubahan status hukum di Unkhair akan menjadi buah karyanya selama mengepalai kampus tersebut di dua kali masa periodenya.

Di balik memuncaknya capaian tersebut–tak ubahnya hasrat negara untuk mengelabui atau setidaknya menyembunyikan artikulasi demokrasi mahasiswa. Saat gerbang-gerbang kampus hanya dipenuhi senyum para pemangku-pemangku pendidikan, keterpurukan dan penghambaan pada kebijakan kampus yang mengungkung nalar demokrasi mahasiswa pun bermain di belakangnya.

Bahkan ruang dialektika kampus telah berubah menjadi ladang birokrasi yang menghimpun sejumlah orang-orang berlatarbelakang “otoritarianisme”. Bersama dengan itu, kasus-kasus pendiktean mahasiswa yang terjadi di lingkungan Unkhair barangkali menjadi indikator yang jelas, bahwa pemberangusan ruang demokrasi kampus, pengungkungan, dan pemerasan hak mahasiswa benar-benar menjadi “proyek pembantaian” berskala besar.

Tanda-tanda pengungkungan demokrasi di lingkungan Unkhair paling tidak bermula pada rencana pemberlakuan Kode Etik Mahasiswa. Pembahasan kode etik Mahasiswa yang juga tidak melibatkan organisasi mahasiswa (ormawa) menjadi pangkal dekadensi ruang demokrasi itu.

Awal tahun 2019 menjadi bukti pergolakan antara mahasiswa dan pihak birokrasi kampus. Di mana demonstrasi di lingkungan kampus benar-benar dilarang. Larangan ini tertaut pada poin-poin kode etik mahasiswa yang menegaskan tindakan demonstrasi dapat mengganggu instabilitas kampus.

Suara mahasiswa dituduh subfersif dan mengganggu ketertiban umum. Hal serupa tentu hanya berlaku pada rezim birokrasi kampus yang otoriter. Bisingnya suara lantang mahasiswa kini menjadi musuh nyata kampus, maka tata tertib dan kode etik pun diluncurkan sebagai upaya membatasi ruang gerak mahasiswa.

Saat Rocky Gerung mengisi sebuah dialog publik di Unkhair, 2019 lalu, dan dia diminta membicarakan kasus Drop Out (DO) yang dilakukan Unkhair kepada 4 mahasiswanya, sosok pendengung “akal sehat” itu pernah mengatakan bahwa seluruh universitas di Indonesia telah berada pada kendali hegemoni yang berupaya membius orang untuk mendengarkan keputusan negara.

Kenyataan ini terjadi di Unkhair, kampus yang kini mengantongi predikat PTN terbaik. Meski demikian, upaya pembebasan ruang demokrasi mahasiswa yang digaungkan tetap mendapat tindakan represifitas kampus. Seperti saat demonstrasi menuntut dicabutnya SK Drop Out yang berakhir dengan aksi pemukulan terhadap mahasiswa yang dilakukan oleh petugas keamanan kampus.

Solidaritas Perjuangan Demokrasi Kampus (SPDK) mencatat terdapat 10 orang jumlah korban tindakan premanisme yang dilakukan sejumlah oknum Satuan Pengamanan (Satpam) milik Unkhair. Lagi-lagi untuk menuntut kebebasan akademiknya, mahasiswa kerap dihadiai memar dan darah.

Padahal di usianya yang sudah sangat tua, Unkhair paling tidak dapat mengepakkan kebijaksanaannya untuk mengayomi tuntutan mahasiswa, sekaligus tidak menjulurkan sekelumit peraturan yang bahkan meniadakan ladang demokrasi bagi mahasiswanya.

Antologi pembungkaman ini sewaktu-waktu masih sering menjadi ancaman bagi mahasiswa. Apalagi, perlawanan terhadapnya hanya menjadi imajinasi lembaga-lembaga kemahasiswaan intra kampus yang memiliki visi yang sama–mengharumkan nama baik almamater. Yang mendiamkan masalah-masalah ini tapi memperkuat lobi-lobi politiknya.

Meski kekuatan mahasiswa dipelintir dengan kekejaman kampus, setidaknya, kata Rocky Gerung, tugas seorang mahasiswa adalah tidak menghambakan diri pada feodalisme rektornya, “Ijazah bukanlah tanda bahwa seseorang pernah berfikir” dan kita yang menginginkan keleluasaan demokrasi, tidak hanya sekadar menyemainya dalam pikiran.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *