Press "Enter" to skip to content

Wacana Kritis Pembangunan

Penulis : Isbullah (Magang)

Sebuah wacana lahir atas dasar konstruksi pemikiran manusia untuk menentukan kebudayaan yang baik dalam ruang lingkup kemanusiaan. Mengutip dari buku Suharyadi, Pengantar Ilmu Sastra, Michel Foucault menjelaskan bahwa wacana atau diskursus sebagai pembicaraan tentang aturan-aturan dan praktik-praktik yang menghasilkan pernyataan yang bermakna, pada satu rentang historis tertentu.

Oleh karena itu, lepas dari abad ke 19 lahir para tokoh-tokoh pembangunan yang mulai menerapkan berbagai skema di seputaran wacana yang disertai oleh berbagai disiplin politik, ekonomi dan budaya. Politik merupakan skema paling dominan dalam skala permainan penguasa untuk mewujudkan rencana praktis, misalnya dalam kampanye yang dilaksanakan pada momentum pemilihan umum, baik pemilihan kepala negara ataupun skala kecil dalam tingkat daerah. 

Sehubungan dengan penjelasan Kuntowijoyo dalam buku Budaya dan Masyarakat, Kekhawatiran terbesar yang barangkali tidak nampak dalam proses politik ialah adanya kecenderungan kesadaran kelas. Jika di masa lalu kita khawatir akan kesadaran kelas buruh dan tani yang dibawakan oleh gerakan komunis, sekarang kita bisa mencatat kesadaran kelas dari perangkat birokrasi kita, yang gejalanya nampak dengan jelas dalam beberapa pemilihan umum. Kepentingan-kepentingan kelas birokrat yang dengan jelas dinyatakan dalam lembaga politik golkar dapat menjelma menjadi kesadaran kelas pegawai negeri. Golongan birokrat yang dengan sendirinya tidak mempunyai sumber-sumber ekonomi tersendiri kecuali kedudukannya dapat menjadi masalah besar bagi kelangsungan sistem nasional. Birokrasi dapat mengadakan aliansi dengan kekuatan apapun untuk mempertahankan legalitasnya. Jika hal ini terjadi maka terjadilah proses rasionalisasi yang paling radikal dalam sistem budaya kita.

Demikian halnya suatu rentang ekonomi pasar bebas dari pihak pemodal telah meluncurkan pelbagai macam siasat guna menarik nilai lebih dan kemudian diberlakukan di tengah-tengah masyarakat. Realitas yang terjadi sekarang ini dapat ditemukan di pulau Halmahera Timur, berdirinya beberapa perusahan besar dan sudah barang tentu memonopoli nilai lebih berupa barang dan jasa maupun yang bersifat virtual sebagai kelangsungan sistem ekonomi pasar bebas, antara lain ialah bank sentral sebagai tabungan value kapitalis.

Bahkan mereka (pemodal) memperdaya masyarakat setempat dalam pembagian hasil yang seolah-olah memenuhi kepuasan.

Lambat laun pengetahuan meghasilkan rencana sedemikian rupa, menciptakan proyek-proyek kepentingan yang justru merenggut suatu kebudayan, melalui reklamasi, jalan raya, premium dan penggusuran rumah warga demi tujuan politik kerja sama berupa negosiasi antara pemerintah dan masyarakat. Sehingga dengan mudah menyisipkan praktik-praktik secara utuh, diantaranya toko-toko investor yang berada di sudut desa. Terlihat dengan jelas bagaimana kekuatan institusi mampu merubah kebudayaan masyarakat hanya meggunakan wacana pengetahuan itu, menganalisis persoalan penting dalam kehidupan sosial. Objek wacana kritis pembangunan di atas disebut sebagai simbol politisi bahwa ada kalanya dijadikan sebagai alat untuk menyakinkan kepada masyarakat mengenai kearifan diri dan patut dipercayai.

Bentuk pembicaraan dalam dunia politik lewat media elektronik dan media cetak sebagai informasi, seolah-olah menampilkan keterangan dan kebenaran untuk menciptakan semacam perubahan idelogi terhadap struktur sosial. Namun, ternyata hanyalah wacana semata. Jika pembangunan itu diorientasikan pada aspirasi masyarakat, dan benar adanya tidak eksploitasi. Maka kita telah berada di posisi yang paling bijaksana. Meskipun metode yang dipraktekkan memenuhi kebutuhan suatu bangsa tanpa ,enyembunyikan tangan. Kata Adam Smith, adalah keharusan atau tanggung jawab sebagai entitas mahluk sosial.

Problematika yang cenderung mengalami kerusakan paradigma kaum politisi terletak pada permukaan satu unsur subjektif yang menitikberatkan hawa nafsunya hingga mencapai tujuan dari pada komoditi. Terutama dampak negatif, pencemaran lingkungan serta bencana lainya mengalihkan pandangan manusia pada arena pembungkaman.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *