Press "Enter" to skip to content

Luka Ekologi di Punggung Halmahera

Penulis: Julfikar Sangaji (Jurnalis/Pegiat di Perkumpulan TARUPA Halmahera)


MEDIO 26 Agustus 2020 publik digegerkan dengan kabar bahwa PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah nyaris tenggelam disapuh air Sungai Ake Sake. Saat itu, hujan deras berlangsung kurang dari 4 jam. Padahal, dalam sejarahnya, lokasi itu tak pernah tergenang banjir. Bencana alam ini kemudian membuat macet giat industri ekstraktif tersebut.

Banjir, kini bak orang berlangganan di koperasi simpan-pinjam. Setiap tenggat waktu datang menagih. Ketika “dia” datang alasan paling sederhana pun bikin geger, gampangnya membeberkan sederat pencatatan digital yang diterima dari bagian terkait. Alasan anomali cuaca membuntuti pembenaran korporasi.

Padahal, sebaliknya perusahan perlu mengevaluasi beberapa hal yang melandasi krisis lingkungan tersebut. Seperti menyadari bahwa banyak pohon-pohon ditumbangkan area penyangga yang belum direboisasi dan di mana titik badan sungai yang tertimbun sedimentasi sehingga perlu dinormalisasi.

Serta bagaimana dengan kondisi daerah tangkapan air dan resapan air, apakah sudah beranjak pada fase kritis hingga perlu pemulihan total agar air dapat terserap ke dalam tanah–bukan malah bebas mengalir di muka kulit tanah.

18 Mei 2021. Banjir kembali melanda dan pertama kali menggenangi kawasan bandara udara perusahaan. Maka setiap kali air bah itu datang, para buruh kehilangan jam kerja lantaran datang ke lokasi industri akan menghadang genangan air.

Selain masalah banjir, yang cukup krusial adalah sengketa lahan dengan warga, polusi udara akibat dari pembakaran batu bara untuk Tenaga Uap (PLTU) yang menjadi pasokan utama listrik industri. Terlebih, bagaimana nasib warga yang kehilangan sumber-sumber produksi.

Kasus yang menimpah Max Sigoro, seorang warga di Desa Gemaf yang pernah diusir security tambang saat memancing di tempat yang tak jauh dari kapal-kapal raksasa pengangkut batu bara. Sebelumnya lokasi itu tempat biasa ia memancing. Max juga kerap didatangi petugas perusahaan dan membujuknya untuk melepas tanahnya ke perusaahan dengan iming-iming kompensasi kerja bagi anaknya.

Upaya Kritik Penerapan K3

Masalah ruang hidup warga sekitar makin terancam. Perusahan juga kerap menjadi buah bibir kritikan, saran bahkan demonstrasi, oleh karena dianggap kurang peduli dalam penerapan Keamanan, Kesehatan, dan Keselamatan Kerja (K3). Kecelakaan-kecelakaan kerja berujung maut seperti tak mengelak. Namun bukannya pihak perusahaan mengemas buah-buah masukan itu untuk mengevaluasi manajamen, tetapi malah kebal kritik.

Laporan Halmaherapost sepanjang perusahan beroperasi, sudah menelan 7 korban meninggal. Ditambah peristiwa ledakan baru-baru ini di Smelter A tungku 1, yang mengakibatkan 20 buruh cidera, 6 buruh dilarikan di Rumah Sakit dengan tubuh yang hangus terbakar dan berujung 2 di antaranya kehilangan nyawa.

Status Quo

Seperti diketahui, IWIP mendapat karpet merah penguasa. Stimulus datang dari Presiden Joko Widodo dengan menetapkan status perusahaan sebagai proyek Strategis Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Selaras dengan ditekennya Peraturan Presiden (Perpres) nomor 109 tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas Perpres nomor 3 tahun 2016 yang mengatur percepatan pelaksanaan proyek Strategis Nasional.

Melekatnya ‘Startegis Nasional’ sudah tentu termasuk ‘Objek Vital Negara’, perusahaan yang memegang izin kontrak karya itu manerima jaminan kelangsungan korporasi super ketat dalam menggenjot produksi hilirisasi nikel [produksi komponen baterai litium]

Maka pada Medio Sabtu 1 Mei 2021, bertepatan dengan hari perayaan Buruh Internasional, sebuah bangunan megah di bukit yang berlokasi di akses utama ke kawasan industri berdirilah Markas Komando (Mako) dari satuan Brimob Kepolisian. Sekaligus menandai bahwa korporasi tersebut benar-benar dilindungi negara.

PT IWIP di Mata Negara

Industri di Desa Lelifef itu terpandang primadona, terutama di mata sederet pembantu presiden yang sering waktu kerap datang menjejaki Maluku Utara, ruang di mana investasi bercokol untuk memusnahkan sumber alam yang menjadi titik terakhir hutan tropis Indonesia. Kedatangan mereka selalu diikuti dengan upacara-upacara seremonial juga disambut tarian adat hingga dikenakan kalung bunga sebagai tanda penghormatan layaknya orang tersohor di negara penganut sistem demokrasi ini.

Dalam sejarahnya tanah di Maluku Utara pernah berjaya karena hasil rembah-rempah berupa pala, cengkih dan cokelat. Dengan aroma khasnya menyengat batang hidung orang-orang di benua Eropa, hingga rela menancapkan layar kapal mereka mengarungi lautan untuk tiba di bumi Moloku Kie Raha. Namun tidak dengan sekarang, kejayaan telah beralih ke logam termasuk biji nikel yang tak pernah ramah lingkungan.

Kendati sejarah itu alot dikenang bak meneguk kopi pekat tanpa ditaburi gula, atau disusupi kolonialisme dalam misi monopoli dagang, namun pada perspektif lain menunjukan keunggulan komoditas hasil tanaman patut diperjuangan keberadaan dan nilainya sebagai kelestarian ekosistem, termasuk merawat ikatan sejarah.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *