Oleh: Isubllah J. Bangsa
Ada hal menarik dalam kota, terutama “kota rempah” di wilayah Maluku Utara. Kota ini dipimpin dengan baik dan kemungkinan benar untuk menata tata ruang wilayahnya. Untuk luas daerah ini tentu tidak memungkinkan bagi pihak politisi akan menduduki tempat-tempat strategis. Dalam pengertian, luas wilaya sekecil danau Ngade, menjadi perebutan amat berkuasa. Padahal, kita ketahui kalau sesuatu yang sedemikian kecil mendatangkan ketidak adilan. Oleh karena tercapainya pembagian tidak merata.
Begitupun dengan dengan para pengkritisi, yang konon diperhadapkan dengan pilihan-pilihan sesuai selera dan target utamanya. Dalam momentum pemilihan kali ini, tuntutan terbesar tanpa saling cegah satu sama lain. dapat menimbulkan saling curiga terhadap siapa pimpinan yang layak mememikul tanggung jawab sakral sebuah harapan masyarakat. Oleh sebab itu, keadaan mengajak kita harus berkaca pada eksistensi karakter lewat pencitraan di pajang di celah-celah kota, gang-gang, jalan raya, hingga sepanjang jalan perkotaan.
Sedikit gambaran dan kini ketakutan terelakkan dari pencitraan ini. Agak karakter yang humoris, dimana pemimpin telah keluar dari sarangnya lalu menunjukan diri di depan publik. “Pertunjukan” semacam adu kekuatan antar kubu-kubu, saya mengakui perlakuan cukup menggelitik pikiran murni untuk menyatakan catatan menolak lupa. Sampai memasuki 2023-2024, masih mencakup karakter pemimpin yang materialis, dan bahkan tujuan mengambil ahli kekuasaan orang banyak semata-mata menjadi kaya aset dan ingin dikenal (status sosial).
Akhirnya tidak dipungkiri lagi, ternyata pergulatan internal organisasi semacam bermasyarakat terus menaru rasa malunya demi kepentingan tertentu. Sehingga persembunyian atas tugas dan tanggung jawab membuat masyarakat awam semakin keliru dengan bingung kepada siapa yang bisa diajak kerja sama dan terpercaya. Sifat sutau organisasi hanya bergerak ketika dipicu oleh kepentingan. Maka kelahiran tindakannya pun tampak muncul dibelakang layar kepentingan orang banyak itu. Apa jadinya kehidupan sosial kita, masihkah bertahan dengan kebutuhan-kebutuhan dalam pengharapan mereka.
Sejauh ini masyarakat awam dengan cara menilai kelayakan pemimpin melalui perilaku bukan dengan pesona gagasan, alih-alih menyengat ke telinga-telingan mereka. Dalam studi teoritisi bergantung pada siapa yang memahami dan mengerti, sebagaimana bentuk kampanye yang memberi kemacetan aktifitas oarang-orang sedang berupaya berdagang, mengojek, menyuci dan sebagainya. Hak stabilitas apa yang ingin kita perlakukan atas kebiasaan ruang dimana harus diinovasikan dan waktu yang kurang melibatkan keadaan tidak masuk akal.
Bentuk pencitraan lagi halnya baliho-baliho di persimpangan jalan kota hingga dianggap sperti pagar politisi di ruang himpitan. Para pengendara merasa malu memandang benda-benda layaknya manusia sedang menyapa sambil mengabarkan sesuatu bernilai rayuan. Merayu setiap orang untuk meyakini sikap politisinya, di hadapan gambar yang kaku dengan model-model karismatiknya masing-masing. Setahu saya, lebih baik menjadi pemimpin yang bukan hadir ditengah pencitraan. Namun, hadir sebagai wujud masyarakat. Dengan begitu, ia pantas disanjung juga dihormati.
Kita tidak menolak tradisi semacam ini, akan tetapi paling tidak ada pemimpin bodoh tapi memikirkan kesusahan orang disekitarnya daripada orang cerdas tapi buta terhadap realtasnya sendiri. Ciri-ciri di bagian kedua, selalu awet menyengsarakan ruang sosial. Penyakit politik tanpa diberi kesumbuhan yang cuckup agar keluar dari ruang kemunafikan maupun kebodohan selamanya. Menurut saya, kita harus bangun sejak mimpi-mimpi buruk ditimpahkan menjadi lamunan sia-sia ketika kita menganggap hak pilih adalah kewajiban.
Sebetulnya, pun kebohongan berlangsung setelah kebenaran diutamakan di pandangan masyarakat. Kadang-kadang bentuk kampanye didasari dengan sesi keberpihakan lewat uang-uang persekongkolan, disebut (serangan fajar). Kan, orang-orang suruhan hanya pelampiasan dari wujud keaslihan sosok tidak berlaku jujur mendapatkan kesempatan sebagai hak menguasai penduduk setempat. Lagi-lagi saya mau bilang dalam memperoleh sesuatu yang berkah di awal sampai akhir rencananya, yakni kejujuran, kerendahan diri dan kesabaran. Bukannya, menggunakan cara licik dengan mengorbankan kehormatan sendiri lalu dibanga-banggakan untuk punjian khalayak umum.
Meskipun sekedar merebut status ataupun menjalankan misi organisasi. Sekalipun demikian, bukan berarti salah dan benar atau layak dan tidak layak. Justru paling intim dalam jabatan itu, asalkan menolak lupa bahwa di bagian kiri dan kanan kita termuat tanggung jawab besar dan harus dipenuhi. Mereka (politisi) sering menafikan diri karena hasutan-hasutan menyesatkan nilai kemanusiaanya. Hati nurani telah mati dalam kepribadian seoran pimpinan, tandanya mereka tidak menyadari bagaimana bersikap adil, jujur dan mengurus perihal umum.
Di samping kita berbicara rekaya politisi mengaku hebat di kehidupan publik melalui poster, baliho atau lewat media apapun itu. Yang jarang mereka tunjukan perilaku atas nama bagiannya kehidupan masyarakat. Walaupun seburuk rupa pun tetaplah bergantung pada tunduk dan patuh kepada apa yang Tuhan amanatkan, dalam surah-Alfatiha ayat ke tuju, “Jalan orang-orang yang telah Engkau (Allah) beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan pula mereka yang sesat.” Saya meyakini maksud pesan dan kesannya sudah menjelaskan bagaimana sebuah tanggung jawab dan guna memegang jabatan penting sebagai pencapaian jalan menuju kemenagan berharga yang akan menuntunnya pada jalan kebenaran.
Leave a Comment